Pentingnya Liburan Bagi Guru

Share

oleh: M. Ali Fauzi

Stephen R. Covey pernah diminta mengisi tentang manajemen stress. Di hadapan peserta pelatihan, Covey membawa gayung ke depan dan mengisinya dengan air. Salah seorang peserta diminta maju dan mengangkat gayung tersebut. Covey bertanya apakah gayung tersebut terasa berat? Peserta tersebut menjawab tidak. Covey memintanya terus mengangkat selama satu jam. Apakah masih ringan? Peserta tersebut menjawab agak berat. Covey memintanya lagi mengangkat selama tiga jam. Kemudian, peserta tersebut mengatakan bahwa gayung tersebut sangat berat. Tangannya terasa kaku. Apa yang sebenarnya terjadi?

Apa yang diungkapkan Stephen R. Covey sungguh mengagumkan. Dia mengungkapkan bahwa berat ringannya suatu masalah bukan pada masalahnya itu sendiri. Akan tetapi pada bagaimana kita mengelola dalam menyelesaikannya. Sebagaimana contoh di atas, sebenarnya gayung berisi air tersebut ringan. Akan tetapi, karena diangkat dalam waktu yang lama, maka terasa sangat berat. Akibatnya juga pada tangan kita yang terasa sakit.

Demikian halnya dengan masalah. Sebenarnya banyak sekali masalah yang ringan untuk menyelesaikannya. Seringkali yang kita lakukan adalah kita berlarut dan terus membawa masalah tersebut berhari-hari. Akibatnya, seolah masalah tersebut sangat berat.

Tidak hanya itu, terkadang ada pemikiran bahwa masalah yang kita anggap berat tadi seolah-olah jawabannya harus rumit. Sehingga kita tidak percaya apabila jawaban atas masalah tersebut begitu sederhana.

Maka, sebagai guru, tugas kita adalah menjadikan tugas harian kita menjadi tidak berat. Sarannya adalah saat pulang ke rumah, letakkan semua pekerjaan di sekolah dan jangan dibawa pulang. Agar kita bisa mengangkatnya kembali esok dengan tenaga yang lebih baru.

Begitu juga dengan liburan guru. Setelah setahun berjibaku dengan administrasi pembelajaran, mengoreksi hasil ujian, sampai menyiapkan rapot siswa, maka apakah yang diperlukan seorang guru agar bisa mengistirahatkan sejenak pikirannya?

Apapun pilihannya, asalkan benar-benar melepaskan tugas-tugas sekolah, maka akan berdampak positif. Agar di tahun ajaran baru, kita memiliki tenaga baru memulai dengan lebih baik.

Yang dibutuhkan adalah liburan psikologis. Selama satu tahun, guru harus berjuang secara psikologis mendampingi siswa, menuntaskan bahan ajar, dan berjuang melawan tekanan atasan dan seterusnya. Istirahatkan sejenak! agar kita memiliki kemampuan melupakan masalah tahun sebelumnya, mengambil pelajaran penting, lalu memberikan tenaga baru untuk tahun berikutnya.

Membaca Novel, Bertemu sahabat lama untuk membangun jaringan, menonton film, pulang kampung untuk menengok orang tua, atau apa saja.

Wahai para guru, Anak dan siswa dengan segala keunikannya sudah menunggu nasihat dan motivasi dari kita di tahun berikutnya. Maka, Liburkan diri beberapa saat. Agar Ketenangan tersebut membawa kembali kekuatan yang lebih baru, yang lebih menyegarkan, dan lebih mencerahkan bagi kita dan generasi bangsa ini.

Continue Reading

Berdiri Sejajar Dengan Anak, Memulai Pendidikan Karakter

Share

oleh: M. Ali Fauzi

Anak lelaki itu masih enggan menggerakkan kakinya. Dia hanya menunduk. Sesekali mendongakkan kepala. Tangannya memegang ujung baju dan melilitkannya ke jari. Dia masih diam. “Ayo, minta maaf!” ucap sang guru A. Anak lelaki itu masih membisu dan membatu. Matanya semakin merah dan berair.
Kemudian, lewatlah guru B. Setelah beberapa saat berbincang, guru B melipat kaki untuk mengambil posisi jongkok. Tangannya memegang bahu anak lelaki tersebut. Guru B melihat hati yang bersalah di mata yang berkaca-kaca. Kini, kepala sejajar dengan kepala. Mata bertemu mata tanpa perlu mendongak. Lalu, komunikasi terjadi. Dan bergeraklah anak lelaki itu kepada temannya untuk meminta maaf.

Menyampaikan pesan kepada anak harus dimulai dengan pemahaman. Ya, memahami bahasanya, memahami karakternya, memahami hatinya, dan memahami fisiknya. Apa yang dilakukan oleh guru B adalah proses penyetaraan hati dan perasaan melalui simbol fisik. Bagi anak, inilah kepedulian seorang ayah sekaligus teman. Sebuah efek psikologis yang berarti kepedulian penuh sayang sekaligus melindungi bagi anak.

Proses lembaga pendidikan adalah upaya memosisikan diri sejajar dengan murid. Upaya inilah yang akan membuka pengetahuan proses kreatif belajar mengajar. Kita menghadirkan kehidupan anak, misalnya, maka kita akan mengetahui apa yang mereka butuhkan.

Mereka butuh pengetahuan yang banyak karena mereka harus menghadapi dunia yang berbeda 20 tahun kemudian. Mereka butuh fondasi karakter akhlak yang kuat karena mereka kelak harus menghadapi pengaruh dari luar. Mereka membutuhkan kematangan sikap sosial karena mereka harus mandiri dan menjadi diri sendiri. Mereka membutuhkan keimanan yang kuat karena imanlah bekal terbaik menghadap Tuhan.

Ketika mata sejajar dengan mata anak, maka perjuangan dan dakwah akan mengalir. Mengalir dari mata turun ke hati. Dari hati akan mengalir menjadi tindakan dan sikap. Proses yang kontinyu seperti inilah yang membentuk butiran-butiran kristal indah dalam diri mereka sebagai karakter dan perilaku.

Pesannya adalah jangan pernah lelah. Karena kita juga harus mempersiapkan masa depan untuk anak dan cucu kita. Merekalah yang memimpin masa depan. Kita sebagai orang tua, guru, atau orang dewasa berkewajiban memberi mereka kesejahteraan yang lebih lengkap dan menyibak onak dan duri yang merintangi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Jangan terburu kecewa ketika kita menanam bunga dan yang kita dapatkan adalah ulat bulu. Jangan pernah lelah. Dari ulat bulu akan lahir seekor kupu-kupu yang berwarna-warni.

Jangan juga mempercepat kupu-kupu keluar dari kepompongnya. Berproses membentuk karakter adalah proses terus menerus yang harus konsisten. Bukan ijazah dengan sederetan nilai memuaskan yang akan membangun jiwa mereka. Kepribadian, akhlak, dan keimanan yang akan mendampingi mereka tumbuh menjadi dan memiliki jiwa-jiwa yang besar.

Sekarang adalah saatnya menanam. Saat harus mengencangkan otot untuk memulai. Saat harus banyak belajar. Saat harus menjaga dari hama yang tidak baik dan jahat. Di saat inilah, pikiran harus terbuka, kepedulian terhadap yang benar harus menjadi acuan, dan profesionalitas harus dijunjung tinggi. Pada saatnya, pasti akan tiba masa panen. Masa dimana kebahagiaan adalah hadiah terindah bagi mereka yang menanam.

Berdirilah sejajar!, maka kau akan memahami mereka.

Continue Reading

Pentingnya Pengalaman Berprestasi

Share

oleh: Ali Fauzi

Apa jadinya kalau Thomas Alva Edison tidak memiliki ibu yang hebat? Ketika gurunya mengatakan bahwa Edison adalah anak bodoh, maka satu-satunya orang yang melihat kelebihan Edison adalah ibunya. Sekarang, tidak hanya Edison yang bangga terhadap dirinya sendiri. Seluruh dunia sampai sekarang mengenal, mengagumi, dan membanggakan Edison.
Setiap orang tua, baik orang tua di rumah atau di sekolah, selalu menginginkan anaknya berprestasi. Tidak harus besar. Prestasi-prestasi kecil, apapun bentuknya, akan menempel sepanjang hidup. Prestasi inilah yang kemudian menggerakkan anak untuk berprestasi lebih baik.

Setiap anak mampu berprestasi. Pandangan yang beranggapan bahwa prestasi anak adalah prestasi nilai sekolah, tampaknya harus bergeser. Memang tidak mudah. Sudah bertahun-tahun menempel di alam bawah sadar bahwa prestasi demikianlah yang layak menyebut seorang anak dengan sebutan anak pintar. Efek yang tidak terasa adalah pada saat anak kita kurang berprestasi di bidang nilai di sekolah, maka dukungan kita terhadap prestasi lain agak mengurang.

Beruntungnya, paradigma lama ini hampir berganti. Banyak orang tua sekarang yang benar-benar tahu bahwa kelebihan setiap anak itu berbeda. Kalau dulu muncul pandangan bahwa setiap anak yang dilahirkan adalah sama. Sama otaknya, sama fisiknya, sama kemampuannya, dan juga sama potensinya. Maka sekarang, pandangan itu menjadi setiap anak yang dilahirkan ke dunia adalah unik. Mereka memiliki keunikan sendiri-sendiri.

Tugas orang tua dan guru adalah menemukan potensi anak untuk meraih prestasi terbaik sesuai kesenangan dan keahliannya. Oleh karena itu, penyelenggara pendidikan di sekolah juga bertugas memberikan sebanyak mungkin pengalaman berprestasi kepada siswa. Mulailah dari hal-hal kecil. Misalnya, penghargaan atas ketekunan melaksanakan tugas piket atau penghargaan atas keramahan sikap.

Hal yang juga penting dilakukan adalah mengadakan kegiatan perlombaan dalam segala bidang. Mulai dari tingkat individu, kelas, antar kelas, sampai antar sekolah. Satu prestasi kecil yang diakui akan meningkatkan kepercayaan diri anak, menambah motivasi anak berprestasi lebih, dan yang paling penting anak merasa apa yang dilakukannya dihargai.

Prestasi yang diraih anak di usia sekolah akan membekas dan akan dikenangnya sepanjang hidup. Coba kita ingat, peristiwa apa yang paling mudah diingat?

Hal ini menjadi pendukung kuat untuk menghilangkan labelisasi siswa. Seperti ada siswa yang pintar, cerdas, ada juga siswa yang kurang pintar.

Berdasarkan hal inilah, memberikan pengalaman prestasi kepada anak adalah aset motivasi yang baik untuk jangka panjang.

Continue Reading

THE PIANIST, MUSIK DALAM KEKACAUAN PERANG

Share


pernah dimuat di harian Suara Merdeka, 4 September 2005

Judul : The Pianist
Penulis : Wladyslaw Szpilman
Alih bahasa : Agung Prihantoro
Cet. : I, 2005
Tebal : xiv + 354 hlm.
Penerbit : C Publishing, Yogyakarta

Terbit pertama kali dengan judul Death of a City di Polandia tahun 1946, buku ini langsung dilarang terbit oleh penguasa Polandia yang merupakan kaki tangan Stalin. Setelah itu tak pernah dicetak ulang, baik di Polandia maupun di luar negeri. Menurut Wolf Biermann, seperti yang dikatakan dalam penutup buku ini, “terlalu banyak kebenaran yang menyakitkan tentang kerja sama antara orang-orang Rusia, Polandia, Ukraina, Latvia, dan Yahudi dengan orang-orang Nazi Jerman”.

Tahun 2002, karya Szpilman terbit dalam bentuk pita seluloid atau film dengan judul The Pianist arahan sutradara Roman Polanski. Film yang meraih sukses ini memenangi tiga Academy Award, termasuk sutradara dan aktor terbaik. Sebuah film yang harus menunggu empat dekade untuk membuatnya. Disebut-sebut sebagai film terbaik tentang pembunuhan massal setelah Schindler’s List karya Steven Spielberg.

Buku ini cukup memikat banyak orang, karena sekaligus menjadi dokumen perang yang tidak biasa. Tidak hanya kisah perseteruan perang, namun buku ini berisi detail-detail kemanusiaan yang bagi sebagian pihak terlalu menyakitkan sebagai kebenaran. Szpilman dapat menjelaskannya dengan apik, sehalus, dan sejujur alunan piano yang dimainkannya seumur hidup. Tidak sentimentil dan sangat menyentuh.

Dibuka dengan pengantar yang sangat bagus dari anak Wladyslaw Szpilman yang bernama Andrzej Szpilman, yang menceritakan bagaimana dia menemukan buku di rak buku ayahnya, ketika dia mencari tahu kenapa dirinya tidak pernah bertemu kakek nenek dari pihak ayah. Dia menyadari bahwa ayahnya bukanlah seorang penulis, melainkan “seseorang yang hidup dalam dan dengan musik”. Namun, buku ini bisa sangat signifikan bagi banyak orang.

Kisah ini bermula ketika perang dunia II sampai ke tanah Polandia tahun 1939. Wladyslaw Szpilman lahir 5 Desember 1911 di Sosnowiec, Polandia; bekerja sebagai pianis untuk stasiun radio Polandia. Dia hidup dengan keluarganya di Ghetto (perkampungan minoritas yahudi) Warsawa, Polandia. Mereka adalah keluarga Yahudi.
Meletuslah perang antara Polandia melawan tentara Jerman. Tidak lama setelah itu, tentara Jerman pun berhasil menduduki Warsawa. Tembok pemisah antara tentara Jerman dan warga sipil Polandia ditegakkan dengan kokoh sebagai pembeda. Pembedaan ras, terutama bagi golongan Yahudi di Ghetto sangat menyiksa. Di sana, dari waktu ke waktu, warga yahudi hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Karena secara acak, mereka akan dibunuh dengan sia-sia oleh tentara Jerman.

Perburuan warga yahudi terus berlanjut hingga tahun 1942. sampai tiba waktunya, mereka harus diungsikan ke Umschlagplatz yang terletak di perbatasan Ghetto. Ini semacam kamp di tepi rel-rel kereta api yang dikelilingi oleh jalan-jalan, lorong-lorong, dan trotoar kotor. Sebuah tempat dengan masa depan yang tidak jelas, dimana semua orang mencurigainya sebagai kematian. Sikap tentara Jerman ini “seperti membawa biri-biri ke tukang jagal”. Demikian salah satu kalimat yang terucap dengan nada pasrah.

Di Umschlagplatz inilah, akhirnya Szpilman berpisah dengan keluarganya, dan tak mendapatkan khabar apapun hingga dia meninggal. Dia diselamatkan oleh salah seorang tentara Yahudi yang peduli terhadapnya.

Dari seluruh 3,5 juta orang Yahudi yang pernah hidup di Polandia, 240.000 diantaranya mampu bertahan hidup selama kekuasaan Nazi. Sebagai catatan tambahan, diantara enam belas ribu orang Arya yang dikenang di Yad Vashem, sebuah situs penting Yahudi di Jerusalem, sepertiganya adalah orang Polandia.

Kisah Szpilman mencapai puncak ketika dia bertahan hidup terpisah dari keluarga dan orang-orang dekatnya. Dia termasuk salah satu diantara orang-orang yang dipekerjakan setiap hari di wilayah Arya di Warsawa, dan turut menyelundupkan ke dalam Ghetto, bukan hanya roti dan kentang, tetapi juga amunisi dan perlawanan Yahudi. Karena kelaparan yang sangat, perlawanan pun dapat dipatahkan dengan mudah. Perang di Polandia mencapai puncaknya. Szpilman dengan penuh ketakutan dan sembunyi-sembunyi, harus berlindung di belakang orang-orang non-Yahudi. Dia dipindahkan dan disembunyikan dari gedung satu ke gedung yang lain.

Dalam kondisi yang demikian, Szpilman sering mengalami kelaparan. Selama tiga sampai lima hari perutnya tak terisi makanan. Hal ini disebabkan oleh kondisi sembunyi-sembunyi dan pengiriman makanan yang tidak pasti. Namun, semangatnya untuk bertahan hidup tak mampu dipatahkan oleh rasa lapar.

Adalah sebuah kenyataan pada saat itu; apabila seseorang di Perancis menyembunyikan seorang Yahudi, akan dikirim ke penjara atau ke kamp konsentrasi; di Jerman, akan dihukum mati; tetapi di Polandia, seluruh keluarga anda akan dihukum mati.
Kisah panjang Szpilman ini akhirnya menemui sedikit kelegaan, ketika dia dalam kondisi setengah sekarat, ditemukan diantara reruntuhan kota Warsawa dan diselamatkan oleh tentara Jerman kapten Wilm Hosenfeld. Bahkan, Hosenfeld membawakan Szpilman makanan, selimut, dan mantel ke tempat persembunyiannya.

Buku ini ditulis oleh Szpilman persis setelah masa-masa perang tersebut. Peristiwa yang terbentang antara tahun 1939 sampai dengan tahun 1945. Aroma perang dan detail traumanya sangat terasa. Sebuah buku yang di satu sisi menjadi catatan harian mengenang selama perang. Dan di sisi lain, buku ini menjadi semacam terapi bagi Szpilman setelah masa-masa traumatik yang panjang dan melelahkan. Namun, semuanya diungkapkan dengan halus dan mengalir begitu saja. Menurut saya Szpilman adalah seorang penulis yang baik. Dia mampu menerangkan dengan sangat bagus hal-hal yang seharusnya kita ketahui dengan benar.

Setelah berkeliling dunia bermain musik, Szpilman hidup dan tinggal di Warsawa hingga meninggal pada 6 Juli 2000.
Kisah yang hampir sama bagusnya dengan buku aslinya mampu divisualisasikan oleh Roman Polanski. Inspirasi terkuat Roman Polanski dalam membuat film The Pianist datang dari sebuah kenyataan bahwa dia juga pernah menjadi tahanan di Ghetto, Polandia selama perang dunia II. Dia kembali ke Polandia dari Perancis dengan orang tuanya hanya dua tahun sebelum PD II dimulai. Ibunya meninggal di kamp konsentrasi. Dan dia bertemu kembali dengan bapaknya pada tahun 1945.

Akhirnya, The Pianist menjadi semacam catatan harian di ‘neraka’. Namun, kebenaran yang menjadi larangan di masa lalu, menjadi memikat dan menarik perhatian di masa kini. Kebenaran yang diungkapkannya adalah sebuah fakta dari sisi lain kebenaran itu sendiri.

Continue Reading

KESAKSIAN SEORANG DOKTER DARI LEBANON

Share


Judul : Tears of Heaven; Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan di Kamp Pengungsian Palestina
Penulis : Dr. Ang Swee Chai
Alih bahasa : Dina Mardiana
Tebal : 656 hlm.
Penerbit : Mizan, Bandung
Cet : I, Juli 2006

Pada saat terbit pertama kali tahun 1989, buku yang berjudul asli “From Beirut to Jerusalem” karya dr. Ang Swee Chai ini membuat banyak orang Amerika marah karena kesaksiannya yang berani dan vulgar tentang pembantaian massal di Sabra-Shatilla, kamp pengungsi Palestina di Beirut, Lebanon, pada 1982. Tidak lama setelah itu, pencetakan dan penerbitan buku ini dihentikan.

Satu tahun kemudian, penerbit Harper Collin mengembalikan hak cipta kepada dr. Ang Swee dan menerbitkan buku “From Beirut to Jerusalem” versi Thomas Friedman, seorang kolumnis koran terkemuka Amerika Serikat, New York Times. Sebuah buku yang sama-sama mengulas tentang konflik Arab-Israel. Tentu saja versi Friedman lebih populer bagi orang Amerika.

Penulis buku ini, dr. Ang Swee Chai, adalah seorang dokter bedah ortopedi kelahiran Penang, Malaysia. Buku “Tears of Heaven” merupakan kesaksian nyata tentang pembantaian manusia yang menukik hingga inti permasalahannya. Sebuah buku yang penuh darah dan kengerian. Tak ada buku lain yang lebih otoritatif dan paling detil menceritakan pembantaian Sabra-Shatila selain buku ini; termasuk bahkan di antara buku yang ditulis oleh orang-orang Arab maupun Muslim sendiri.

Buku yang tergolong gemuk ini menuturkan secara kronologis kesaksian dan perjalanan penulisnya dari Lebanon hingga Jerusalem. Buku ini dimulai dengan sejarah singkat background keluarga tempat dr. Ang Swee tumbuh. Sebagai seorang kristen fundamentalis, dr. Ang Swee tumbuh dalam keyakinan yang mendukung Israel, membenci orang-orang Arab, dan memandang PLO sebagai teroris yang harus dikutuk dan ditakuti. Namun setelah menyaksikan televisi tentang penyerbuan tentara Israel ke Lebanon, pandangan dr. Ang Swee tentang Israel, PLO, dan orang-orang Arab-Palestina, berubah.
Melihat penyerbuan yang terus menerus berlangsung, hati dr. Ang Swee tergerak pedih. Dalam salah satu pengakuannya, dr. Ang Swee mengatakan, setidaknya kepedihan itu “pertama, karena mereka telah disakiti oleh Israel, kedua karena aku seorang kristiani, dan ketiga karena aku seorang dokter”. Akhirnya, dr. Ang Swee mendapatkan kesempatan untuk membantu dan menolong para korban perang di Lebanon.

Di Beirut, khususnya di Sabra-Shatila, dr. Swee tidak hanya menemukan betapa bergunanya ketrampilan menjadi dokter dalam menolong manusia lain, tapi juga tentang betapa terbatasnya profesi ini dalam situasi segila itu. Berada di tengah pembantaian, dr. Swee mengaku tidak berdaya: sementara menolong orang yang sekarat, dia melihat tak jauh darinya perempuan dibantai dan diperkosa seperti binatang. Di hari berikutnya, orang-orang bersenjata memasuki rumah sakit dan memerintahkan semua orang yang memegang paspor luar negeri untuk meninggalkan tempat itu. Dipaksa meninggalkan tempat itu, para dokter digiring melalui kamp. Pemandangan saat itu masih terus menghantuinya sampai sekarang. “Ada banyak orang dikumpulkan, pria, wanita, dan anak-anak yang memandang kami dengan mata penuh ketakutan,” kenang dr. Ang Sweee. “Mayat ada di mana-mana. Saya tersandung sesosok mayat.” Dalam kengerian, ia lihat mata mayat itu telah dicungkil.

Perjalanan dr. Ang Swee Chai, yang kini tinggal di Inggris, merupakan pengalaman yang tak terlupakan. Ia menjadi saksi korban-korban pembantaian yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat sipil, wanita dan anak-anak. Kondisi itu telah mengubah pandangannya yang semula mendukung Israel dan menganggap orang-orang Arab sebagai teroris, kini ia mendukung setiap upaya kemanusiaan untuk menyelamatkan korban-korban kekejaman Israel yang pada umumnya adalah bangsa Arab.

Ilmu kedokteranlah yang telah membuat buku ”From Beirut to Jerusalem” jauh lebih bermakna ketimbang buku-buku yang bisa ditulis seorang wartawan perang. dr. Swee bisa secara rinci melukiskan jenis luka, peluru apa yang merobek tulang tengkorak korban, dan bahan-bahan kimia apa yang terkandung dalam amunisi Israel. Detail kepedihan fisik dan psikis sangat terasa. Gaya bertuturnya yang mengalir membuat buku ini mudah diikuti dan dicerna. Meski barangkali tidak seindah kisah-kisah perjalanan seperti karya Naipul dan Theroux, namun pembaca akan dapat merasakan emosi kepedihan dan pergolakan yang dialami dr. Ang Swee.

Buku ini juga menceritakan pada 1984 ketika Ang kembali ke Inggris, dia dan beberapa pekerja medis membentuk badan amal untuk membantu warga Palestina. Mereka menamakannya MAP, Medical Aid for Palestine. Mereka bertujuan membangun kembali rumah sakit-rumah sakit Palestina dan menyediakan suplai obat-obatan. Berkat pengorbanan itulah pada 1987, pemimpin PLO, Yasser Arafat, menganugerahi dr Ang Swee Chai dengan gelar Star of Palestine. Inilah penghargaan tertinggi bagi pengabdian kepada rakyat Palestina. Setelah dimulainya Intifada, Ang mengalihkan perhatiannya untuk membantu warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat.

Lebanon seolah telah menjadi tanah air kedua bagi dr. Ang Swee. Setiap kali kekerasan menimpa Lebanon dan orang Palestina, setiap kali itu pula hatinya terpanggil dan berangkat kesana. Tahun 1985, ketika perang Ramadhan, juga tahun 1988 ketika intifada baru dimulai, dia harus kembali lagi ke Lebanon.

Perjuangan Dr. Ang Swee tidak hanya membantu para korban perang. sebagai orang Timur, ia juga harus berjuang melawan Pers Barat dalam mengungkap kebenaran dan kemudian bersaksi di depan komisi Kahan yang menyelidiki pembantaian itu. Komisi tersebut, akhirnya memutuskan bahwa Menteri Pertahanan Ariel Sharon (yang di kemudian hari menjadi Perdana Menteri) bertanggung jawab “secara personal” atas pembantaian itu dan dipaksa mundur dari jabatannya pada 1983.

Buku ini pada awalnya adalah surat-surat Dr. Ang Swee selama di Lebanon kepada suaminya, Francis Khoo yang berada di London, yang dititipkan melalui palang merah internasional atau para jurnalis. Judul “From Beirut to Jerusalem” dipilih karena bagi Dr. Ang Swee ada harapan besar yang masih menyala dalam diri setiap orang Palestina bahwa kelak suatu hari nanti mereka akan dapat kembali ke tanah suci, Jerusalem.

Membaca buku ini berarti merasakan dari dekat pembantaian manusia melalui pengalaman penulisnya. Buku ini juga dapat menjadi pelajaran untuk bersikap rendah hati, peduli terhadap sesama yang terkena musibah, juga merupakan semangat tinggi untuk tetap bertahan hidup sebagai manusia dan masyarakat. Pesan utama buku ini adalah, selamatkan Lebanon, selamatkan masyarakat manusia dari kekejaman dalam bentuk apapun.
Akhirnya, melalui buku ini juga upaya dr. Ang Swee Chai berkeliling ke berbagai negara adalah untuk menuturkan pengalamannya kepada orang-orang. “Saya ingin dunia mengetahui pembantaian itu,” katanya.[]

Continue Reading

Dua Sahabat Pengejar Layang-layang

Share


Judul Buku : The Kite Runner
Pengarang : Khaled Hosseini
Alih Bahasa : Berliani M. Nugrahani
Cet. : I, Maret 2006
Tebal : xiv+616 hlm.
Penerbit : Qanita, Bandung

Sebuah buku terkadang hadir dengan fantasi luar biasa, cerita kepahlawanan yang apik, dan penuh visi besar, yang kesemuanya menantang keberanian kita untuk melihat dunia di luar diri kita. Sedangkan buku yang lainnya datang lebih halus, lebih bijaksana, mengajak pembacanya berpikir dari dalam dirinya, memberinya kekuatan untuk menanyakan hidup, kepercayaan, Tuhan, tindakan-tindakan sexual, cinta, politik, atau apapun yang mungkin ada dalam pikiran pembacanya. Novel “The Kite Runner”, karya Khalid Hosseini ini tampaknya memiliki kedua karakter tersebut. Sebuah novel yang berani, kuat, menyentuh, dan bertaburan persoalan-persoalan moral.

The Kite Runner ini merupakan sepenggal kisah tentang persahabatan, pengkhianatan, kehormatan, pengampunan, dan nilai-nilai sosial dengan sejarah Afghanistan modern sebagai latar belakang ceritanya. Ini adalah sebuah gaya berkisah yang mengingatkan kita pada penulis-penulis Rusia abad ke-19. Gaya bertutur yang berani dan gentle dalam novel ini juga mengingatkan lebih jauh akan gaya berkisah Boris Pasternak dalam Dr. Zhivago. Bedanya, narasi yang digunakan Hosseini terasa lebih halus, familiar, dan mudah diikuti.

Dua lelaki, satu rahasia. Novel ini mengisahkan tentang persahabatan yang tak terlupakan antara dua anak laki-laki yang hidup di Kabul, Amir dan Hasan. Mereka tumbuh di rumah yang sama, berbagi atap bersama, namun hidup dalam dunia yang berbeda. Amir adalah anak terpelajar orang kaya Muslim-sunni dari etnik Pashtun. Sedangkan ayah Hasan adalah pelayan di rumah Amir. Hasan adalah seorang Muslim-Syiah dari etnik Hazara, sebuah kaum minoritas di Afghanistan. Di balik perbedaan itu, mereka hidup layaknya saudara.

Hosseini melukiskan kehidupan Afghanistan pra-revolusi dengan penuh kehangatan dan selera humor yang tinggi. Namun, pertentangan antar etnik juga tergambar sangat menyayat hati dalam novel yang bersetting lebih dari tiga puluh tahun yang lalu ini.
Masa kecil Amir dan Hasan diliputi dan dipenuhi dengan kisah dan permainan layang-layang di Kabul. Hasan dan Amir adalah pengejar layang-layang (The Kite Runner) yang handal. Alkisah, ketika pesta adu layang-layang terbesar diadakan, Amir dan Hasan menjadi pemenangnya. Namun, peristiwa itu ternyata sekaligus mengakibatkan sebuah peristiwa rahasia yang memilukan, peristiwa yang akhirnya menyebabkan perpisahan mereka setelah lebih dari dua puluh tahun bersama. Sebuah rahasia yang hanya diketahui oleh Amir dan Hasan.

Metafor ‘layang-layang’ yang digunakan Hosseini dalam The Kite Runner untuk mengungkapkan konflik sosial bangsanya, sungguh mengagumkan. Metafor sederhana yang menyentuh tradisi dan budaya Afghanistan. Negeri gurun ini dikenal dunia sebagai negara yang misterius, terutama pasca-serangan 11 September 2001 di AS dan didaulatnya kaum fundamentalis di Taliban. Afghanistan telah mengalami masa-masa Monarchy, Demokrasi, pengasingan dan perang saudara yang terus bergejolak hingga kini.

Maka, novel ini telah berperan sekaligus menjadi media informatif yang sangat bagus tentang sejarah Afghanistan bagi masyarakat dunia. Sebuah kisah yang mampu membuat kita menangis dan tertawa. Kepedihan-kepedihan yang dengan sangat detail diungkapkan oleh Hosseini akan terasa begitu pedih dalam benak pembaca.
Secara keseluruhan, novel ini mengisahkan pergolakan pribadi akan permasalahan-permasalahan sosial dalam setting sejarah yang kelam. Sebuah kisah yang kurang lebih mengingatkan kita pada novel klasik Gone With The Wind karya Margaret Mitchell.
Pada saat perang sipil terjadi, Rusia menginvasi Afghanistan, ratusan bahkan ribuan rakyat Afghanistan diasingkan. Begitu juga dengan Amir dan ayahnya, Baba. Mereka harus melarikan diri ke Amerika Serikat. Tradisi Afghan yang menekankan kebanggan dan kehormatan harus dipertaruhkan. Di California, Baba bekerja di pompa bensin, dan di akhir pekan, Baba dan Amir pergi ke pasar loak bersama komunitas orang-orang Afghan. Disamping itu, Amir juga melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, dan kemudian menikah. Kerja keras Baba dan kebiasaannya merokok telah mengakibatkan dirinya sakit. Tak lama kemudian, Baba meninggal dunia.

Kisah kelam personal dan sosial memuncak, ketika Amir menjumpai kehancuran bangsanya saat kembali ke kampung halaman, dengan harapan akan membantu Hasan dan keluarganya. Tanah kelahirannya yang indah telah hancur dan berubah total. Aroma kepedihan terasa dimana-mana.

Khaled Hosseini, penulis novel ini, lahir dan besar di Kabul, Afghanistan. Hosseini adalah anak dari seorang diplomat yang mendapat suaka politik ke Amerika Serikat pada tahun 1980. Maka tak heran, setiap inci dan detail kisah beserta istilah-istilah lokal terasa begitu kuat. Hosseini sendiri mengakui bahwa seluruh nama tempat, kisah, dan peristiwa yang dialami Amir sebagian besar terilhami dari pengalaman dirinya sewaktu di Kabul. Namun, tokoh Amir dalam novel ini sepenuhnya fiktif belaka.
Persinggungan fisik dan psikologis yang terlukis dalam novel ini pada akhirnya memberikan pelajaran tentang bagaimana sebuah individu dan masyarakat ketika berjuang di tengah-tengah kekerasan yang terus terjadi sampai sekarang. Membaca buku ini juga akan memberi pengetahuan tentang alasan mengapa sebuah budaya bisa luntur dan hilang.
Novel The Kite Runner ini adalah novel pertama Hosseini, bahkan novel pertama orang Afghan yang ditulis dalam bahasa Inggris. Namun, dalam debutnya yang pertama, novel ini telah merebut hati banyak pembaca di Barat dan di Timur sendiri. Sebuah novel yang disebut-sebut telah sekaligus menjadi sejarah sosial-politik negara Afghanistan yang paling mudah dipahami.

Apa yang telah dilakukan oleh Hosseini dalam novelnya ini merupakan usaha yang sangat jarang dilakukan oleh para penulis novel zaman sekarang. Ia telah menyelipkan sebuah pendidikan politik antar bangsa di balik serentetan peristiwa lokal. Tentu saja dengan bangunan setiap tokoh yang emosional dan menyentuh dalam setiap halaman novel ini.

Semangat yang membara dalam novel ini adalah munculnya optimisme yang sangat kuat akan datangnya masa depan yang lebih baik dan damai di negeri Afghanistan. Melalui penuturan yang sangat personal, penulis novel ini telah menemukan suara hatinya sebagai orang Afghanistan yang telah mengalami masa lalu yang kelam di negerinya. Sebuah pengalaman yang telah menggerakkan hati dan pikiran diri dan orang lain.[]

Continue Reading

The Judges, Menelusuri Jejak Perjalanan ‘Sang Pengadil’

Share


Pernah dimuat di harian Media Indonesia, 7 Agustus 2005

Judul : The Judges; Sang Hakim
Penulis : Elie Wiesel
Alih bahasa : Sofia Mansoor
Tebal : xiv + 365 hal.
Penerbit : BENTANG, Yogyakarta
Tahun : 2005, cetakan I

Sebuah buku terkadang hadir dengan fantasi luar biasa, cerita kepahlawanan yang apik, dan penuh visi besar, yang kesemuanya menantang keberanian kita untuk melihat dunia di luar diri kita. Sedangkan buku yang lainnya datang lebih halus, lebih bijaksana, mengajak pembacanya berpikir dari dalam dirinya, memberinya kekuatan untuk menanyakan hidup, kepercayaan, Tuhan, tindakan-tindakan sexual, cinta, politik, atau apapun yang mungkin ada dalam pikiran pembacanya. Novel “The Judges”, karya pemenang Nobel perdamaian tahun 1986 ini, merupakan wakil dari type yang kedua. Sebuah novel yang berani, misterius, filosofis, religius, dan bertaburan persoalan-persoalan moral.

“The Judges” mengisahkan sebuah thriller yang tanpa melibatkan pertentangan fisik, sebagaimana karya Clive Barker atau John Grisham. Novel ini juga mengingatkan kita lebih jauh tentang eksplorasi diri secara introspektif dalam karya Albert Camus “The Fall”, juga seperti cerita pendek Sartre “The Wall” yang mengisahkan perpaduan antara kemarahan dan keputusasaan seseorang dalam menghadapi eksekusi.

Novel ini berkisah tentang lima orang penumpang dari pesawat yang terpaksa melakukan pendaratan darurat di sebuah lapangan udara kecil di Connecticut akibat badai salju yang hebat. Pesawat yang sedianya akan membawa mereka dari Amerika Serikat menuju Israel itu, untuk sementara tidak bisa melanjutkan penerbangan.

Setengah jam kemudian, datanglah sejumlah mobil untuk mengangkut seluruh penumpang ke tempat-tempat penampungan sementara, sambil menunggu cuaca membaik. Kelima orang yang akan dikisahkan ini secara kebetulan berada dalam mobil yang sama. Mereka adalah: Claudia, George, Bruce, Yoav, dan Razziel.

Mobil tersebut membawa mereka ke sebuah rumah balok kayu di sebuah desa terpencil dekat pegunungan antara New York dan Boston. Tuan rumah yang menerima mereka adalah seorang lelaki yang menyebut dirinya ‘Sang Hakim’, bersama seorang pelayan dengan panggilan ‘Si Bongkok’. Alih-alih menolong para korban, ternyata Sang Hakim malah menjadikan mereka berlima sebagai tawanan yang harus ikut serta dalam permainan yang telah disiapkannya. Pada akhir permainan nanti, salah seorang dari mereka — yang paling tidak berharga –harus mati.

Teka-teki kematian inilah yang membuat para tokohnya dibiarkan bertutur sendiri-sendiri, mengenali diri dan kediriannya. Dimana mereka harus mengingat kembali perjalanan hidupnya selama ini. George, si Juru Arsip dengan setumpuk rahasia penting negara, juga dengan sebuah rahasia yang bisa menjatuhkan seorang politisi di tangannya; Claudia, si cantik yang bekerja di sebuah teater, baru saja meninggalkan suaminya dan telah menemukan cinta baru; Bruce, seorang calon pendeta yang berubah menjadi perayu ulung dan playboy; Yoav, seorang tentara; serta Razziel, seorang guru agama yang pernah menjadi tahanan politik. Penulis novel ini, Elie Wiesel—yang di tahun 1995 termasuk satu dari lima puluh orang besar Amerika dalam edisi spesial ke-50 Who’s Who In America—mampu menampilkan dan menghidupkan sebuah cerita dengan sangat detail dan menawan.

Semua merasa berhak untuk terus melanjutkan hidup yang berharga ini. Tak ada yang rela mati demi yang lain, sebab di suatu tempat di dunia ini, masih ada orang-orang tercinta yang menanti kedatangan mereka: istri, kekasih, anak-anak, ayah, sahabat, dan lain sebagainya. Mengapa kita, manusia, selalu saja terlambat menyadari betapa beruntungnya diri ini memiliki orang-orang yang dengannya kita dapat berbagi rasa cinta?

Novel ini menarik tidak hanya karena misterius, namun juga penuh dengan pesan-pesan kemanusiaan, sebagaimana juga yang sering diusung Wiesel dalam karya-karyanya. Elie Wielsel, penulis novel ini, adalah penerima 110 gelar kehormatan dan lebih dari 120 gelar yang lainnya. Dia telah menerima beberapa penghargaan atas karya-karyanya, termasuk karya non-fiksinya seperti autobiografi Night (1960), The Jews of Silence (1966), dan A Beggar in Jerusalem (1970). Lebih dari limapuluh buku telah ditulis oleh Wiesel.

Namun, di luar berbagai penghargaan yang diterimanya, dalam ‘The Judges’, yang terbit pertama kali tahun 2002, Wiesel menyajikan cerita lain yang lebih emosional, meski tetap menampilkan sisi humanisme yang selalu disuarakannya tanpa henti. Ironisnya, seperti ditulis dalam pengantar penerbit di buku ini, Wiesel justru diam seribu bahasa tatkala Zionis Israel melakukan pelanggaran kemanusiaan terhadap Bangsa Palestina. Sebagai seorang yang gencar mengkampanyekan isu-isu kemanusiaan, ia memilih bungkam menyaksikan pelanggaran HAM yang terjadi di depan hidungnya itu. Bagaimana bisa ia, yang pernah merasakan sendiri kepedihan akibat kekejaman NAZI, bersikap mendua seperti itu?.

Lewat karyanya ini, Wiesel ingin mengingatkan bahwa betapa masih banyak yang berharga dalam setiap diri dan orang-orang di sekitar kita. Sebuah kenyataan yang akan menyadarkan dan mengingatkan kita terhadap hakekat kemanusiaan itu sendiri. Bahwa setiap tindakan apapun yang melukai orang lain tetaplah patut direnungkan kembali. Demi diri kita, demi kemanusiaan.

Barangkali, apabila yang diinginkan oleh Wiesel adalah sebuah kisah misteri dengan ketegangan dan kejutan yang mempesona, Wiesel tidak sepenuhnya berhasil. Namun, apabila tujuan utama novel ini adalah menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan, maka memang Wiesel-lah salah satu orang yang patut disimak karya-karyanya.

‘Sang Hakim’ Kemanusiaan bisa hadir dalam bentuk siapa dan apa saja. Sesuatu yang kecil bisa menjadi pahlawan hanya gara-gara memaksa kita harus merenungkan kembali nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Di balik aktifitas sebagai mantan pemenang Nobel perdamaian, Wiesel berhasil menampilkan seorang pahlawan kamanusiaan yang lebih hakiki, bernama ‘Sang Hakim’.[]

Continue Reading