‘PETA WAKTU’ PERAN INTELIGENSIA MUSLIM INDONESIA

Share

Koran Tempo, 11 Desember 2005
Judul Buku : Inteligensia Muslim dan Kuasa; Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20
Penulis : Yudi Latif
Pengantar : Prof. James J. Fox
Cet. : I, Oktober 2005
Tebal : xx + 740 halaman
Penerbit : Mizan, Bandung

Sekali lagi, bahkan untuk pertama kali secara sistematis, buah karya putra bangsa tentang peta waktu perjalanan inteligensia muslim Indonesia telah hadir. Sebuah buku sejarah yang lebih. Sebuah rekaman waktu yang memikat dan istimewa tentang sejarah bangsa sendiri.
Setiap kali membaca buku sejarah dan pemikiran yang ditulis dengan baik, setiap kali pula kita merasa berhadapan dengan sebentang peta yang digambar dengan baik. Yang ditemui di dalam karya itu memang bukan melulu lembaran peta ruang, dengan bidang, jarak, koordinat, dan nama-nama tempatnya. Yang ditemui disana lebih merupakan peta waktu, yang bergerak menjawab—sekaligus menciptakan—berbagai perubahan.
Buku Inteligensia Muslim dan Kuasa ini adalah upaya intelektual yang dimatangkan oleh waktu dan ketekunan, yang memetakan waktu sejarah dan waktu sosial dengan baik. Sebuah buku yang berupaya menelaah genealogi inteligensia muslim dalam hubungannya dengan formasi sosial, posisi struktural, juga dengan pertarungan kuasa di Indonesia abad ke-20.
Sebagaimana dalam buku ini, transformasi inteligensia muslim dari pinggir menuju pusat dalam dunia politik dan birokrasi Indonesia tidak bisa lagi dibaca dengan studi-studi yang ada mengenai elite Indonesia modern dan politiknya, apakah itu Clifford Geertz (1960), Robert van Neil (1970), R. William Liddle (1973), Donald K. Emmerson (1976), atau Ruth McVey (1989).
Secara keseluruhan, pendekatan waktu sejarah yang digunakan Yudi Latif dalam buku ini adalah sesuatu yang baru, yang kurang lebih mengingatkan kita pada karya-karya keilmuan dari Anthony Reid, juga karya raksasa Denys Lombard Le Carrefour Javanais. Yakni pendekatan interdisipliner atau lebih dikenal sebagai Total History. Sebuah pendekatan atas waktu sejarah yang muncul di paruh pertama abad ke-20 oleh sekumpulan ilmuwan Perancis yang kemudian disebut sebagai “mazhab annales”, dipelopori oleh Lucien Febvre dan Marc Bloch, dan dikukuhkan lebih jauh antara lain oleh Frednand Braudel
Hasilnya, buku yang diangkat dari disertasi ini lebih dari sekedar buku sejarah biasa. Sebuah buku yang tidak hanya melengkapi khazanah keilmuan di Indonesia, tapi juga memberi metodologi baru bagi pendekatan sejarah sosial formasi inteligensia muslim Indonesia.
Istilah “inteligensia” yang digunakan dalam buku ini dibedakan dengan istilah “intelektual”. “Inteligensia” merujuk pada sebuah strata sosial tersendiri dan mengindikasikan suatu “respon kolektif” dengan mengandaikan adanya sebuah identitas kolektif yang memancar dari karakter-karakter psikologis, perilaku, gaya hidup, pendidikan, psiko-sosiografis, sistem nilai, habitus, dan panggilan historis bersama. Sementara istilah “intelektual” pada awalnya merujuk pada “individualitas” dari para pemikir serta mengindikasikan respon individual terhadap sebuah “panggilan” historis tertentu atau fungsi sosial tertentu. Kolektivitas dari para “intelektual” dimungkinkan terbangun oleh adanya sebuah “panggilan” historis tertentu, atau oleh sebuah tindakan kolektif untuk menyuarakan tradisi dan kepentingan dari kelas-kelas tertentu.
Inteligensia yang digunakan penulis dalam buku ini mencoba membandingkan dengan kaum inteligensia di Polandia dan Rusia yang membentuk sebuah stratum tersendiri dalam kelas sosial masyarakat. Asal-usul lahirnya elite berpendidikan modern di Indonesia, kurang lebih sama dengan asal-usul lahirnya inteligensia dalam konteks Polandia dan Rusia. Kesamaannya adalah, meminjam istilah Gella, tampilnya sebuah generasi terdidik yang terpengaruh oleh ide-ide dan pengetahuan Barat yang diserapnya. Perbedaannya adalah inteligensia Indonesia berkembang dengan sangat beragam dan heterogen. Maka, meski dengan kepentingan kolektif bangsa, inteligensia Indonesia tidak bisa tumbuh sebagai sebuah kelas tersendiri.
Inteligensia indonesia merefleksikan suatu ekspresi kolektif dalam arti “suatu kesamaan identitas dalam perbedaan”, dan “keberagaman dalam kebersamaan identitas”.
Peran kaum inteligensia muslim Indonesia dalam percaturan politik dan sosial mengalami masa-masa jatuh bangun. Hal yang menarik dari kajian Yudi Latif ini adalah bahwa relasi kuasa yang bermain terjadi tidak melulu pada wilayah politis dan birokratis, sebagaimana yang banyak dikaji dan disoroti, tapi juga dalam bidang pendidikan, persoalan-persoalan simbolis, diskursif, yang kesemuanya justru akan memiliki dampak-dampak politik yang lebih signifikan.
Pendidikan modern yang diperkenalkan oleh kolonial Belanda pada paruh kedua abad ke-19 telah menjadi faktor yang mempersatukan orang-orang dalam aneka kelompok sekaligus menjadi sekat pemisah di antara kelompok-kelompok itu, yang dengan tegas telah meneguhkan perbedaan status. Terbatasnya umat Islam untuk meraih pendidikan yang layak mengakibatkan, pada dekade awal abad ke-20, kubu Islam lemah dalam medan politik dan pembentukan wacana kebangsaan. Islam menjadi pihak luar dalam ranah politik indonesia. Kondisi ini memunculkan apa yang disebut W.F. Wertheim (1980) sebagai sindrom “mayoritas dengan mentalitas minoritas”(hlm. 350). Dengan kondisi seperti itu, generasi muslim berikutnya terlahir dengan memikul beban kenangan yang pedih.
Di masa Indonesia merdeka, kaum inteligensia dan ulama-intelek yang telah tampil dan menjadi penggerak, pemimpin, dan pelaksana politik nasional, kini menguat sebagai elite kekuasaan yang dominan. Mereka kemudian menjadi intelektual organik dari berbagai aliran politik, dan mereka inilah yang mengartikulasikan cita-cita politik dari kelompok-kelompok yang ada. Peran publik mereka kemudian meluas menjadi dari pejuang civil society (seperti yang mereka jalani selama periode kolonial) menjadi pejuang masyarakat politik (political society) dalam sebuah bangsa yang baru berdiri.
Seiring berakhirnya abad ke-20, kaum inteligensia muslim Indonesia terus berperan penting dan memberikan warna dalam kehidupan politik, sosial, dan pendidikan. Transformasi inteligensia muslim telah bergeser dari pinggir menuju pusat. Tidak hanya dalam percaturan politik, tapi mereka juga telah membentuk wacana-wacana diskursif kebangsaan dan kemasyarakatan.
Sebagaimana diungkapkan di akhir buku ini, demi sebuah masa depan bangsa yang lebih baik, tanggung jawab utama inteligensia adalah mentransformasikan populisme dari kesadaran diskursif menjadi kesadaran praktis. Sehingga tidak lagi terjadi adanya kondisi “inteligensia kehilangan orang awam, orang awam kehilangan inteligensia”.
Apa yang telah dilakukan oleh Yudi Latif dalam buku ini telah menjawab tanggung jawab intelektual bangsa Indonesia untuk memetakan sejarah bangsanya sendiri dengan pendekatan dan metodologi yang memadai. Pengungkapan data yang kuat dan akurat, serta ditaburi analisis yang memikat, karya putra bangsa ini layak dan harus diikuti oleh sarjana-sarjana lain.
Barangkali, kelak akan datang sejumlah ilmuwan putra bangsa dengan penelitian-penelitian dan penemuan baru yang terus menerus memperbaiki, memperkaya, dan memperkuat khazanah keilmuan Indonesia untuk meraih jati diri bangsa dan kebangsaan yang besar dan kuat.

Author: Ali Fauzi

SEJUTAGURU merupakan tempat untuk berbagi ide, pemikiran, informasi dan kebijaksanaan hidup. Lebih khusus lagi di bidang pendidikan: guru, pendidik, sekolah, dan proses belajar. Pengelola blog ini adalah seorang guru, orangtua, dan selalu siap menerima dan berbagi ilmu.

Artikel terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.