
Oleh : Ali Fauzi
Albert Einstein ketika ditanya oleh wartawan tentang besaran kecepatan cahaya yang ditemukan, Einstein langsung menjawab dengan mengatakan, “cari saja di buku saya, otak saya tidak digunakan untuk menghafal, tapi digunakan untuk berfikir!”
Apa yang dikatakan Einstein merupakan sindiran tajam terhadap proses pendidikan yang masih banyak mengedepankan hafalan. Guru seolah tugas utamanya adalah menyampaikan serentetan fakta yang harus dihafal oleh muridnya. Semakin banyak yang dihafal, maka nilai tes atau nilai ujian semakin bagus.
Setiap sekolah, setiap guru, bahkan juga setiap orangtua memiliki standar sukses yang berbeda-beda. Yang masih dominan adalah kesuksesan meraih nilai yang bagus saat ulangan atau ujian. Ya, tidak ada yang salah dengan hal ini. Salah satu keberhasilan yang paling mudah diukur dan dilihat adalah hasil nilai saat ujian atau ulangan. Bahkan, tes tertulis merupakan cara termudah mengukur dan mengetahui perkembangan belajar siswa.
Namun, jangan jadikan hal ini sebagai tujuan utama! Lihatlah akibatnya jika tujuan utama belajar adalah untuk mampu menjawab soal ujian.
– Siswa hanya belajar saat ulangan/ujian.
– Siswa akan memiliki rasa takut dengan tes tertulis karena tekanan guru dan orangtua.
– Siswa cenderung hanya belajar materi yang akan keluar saat ujian.
– Siswa hanya membaca rangkuman.
– Muncul kasus menyontek dan kecurangan dalam ujian.
– Lebih sayang lagi pada semester 2, (kelas 6 SD, kelas 9 SMP, dan Kelas 12 SMA), sekolah berubah menjadi lembaga bimbingan belajar yang hanya membahas soal-soal saja.
– Dll.
Mari kita mengingat saat-saat sekolah di tingkat dasar (SD atau MI). Apa yang kita ingat? Apakah materi pelajarannya? Atau yang kita ingat justru pengalaman menyenangkan dan menyedihkan saat mendapat hukuman? Kita lanjutkan ke tingkat SMP. Apa yang kita ingat dengan kuat? Materi pelajaran atau pengalaman berteman dan berinteraksi dengan gurunya?
Apa yang kita ingat akan memberikan banyak hikmah. Menghafal fakta-fakta dapat begitu saja berlalu setelah beberapa bulan. Memberikan pengalaman nyata yang melibatkan lima panca indera dalam pembelajaran akan membuat materi pelajaran bertahan lama dalam ingatan. Terlebih lagi, jika yang kita bangun adalah pembentukan cara berkomunikasi dan pembentukan karakter peserta didik.
Mempersiapkan siswa agar bisa menjawab tes tertulis tidak salah, bahkan sangat baik. Namun jangan meninggalkan proses yang baik dan tepat dalam belajar. Misalnya, ketika siswa akan menghadapi ulangan tentang pembagian, maka setidaknya ada tiga cara yang berbeda yang kita berikan kepada siswa sebelum ulangan. Memahami pembagian, menggunakan/mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan memecahkan masalah yang terkait dengan pembagian.
Ketika mengajar hanya bertujuan untuk menjawab ulangan/ujian saja, maka pembelajaran cenderung membosankan. Ada pembelajaran dengan pendekatan teacher centered approach, yaitu pembelajaran yang berpusat pada guru dimana guru yang aktif dan murid hanya mendengarkan. Dengan pendekatan ini, maka akan menghasilkan siswa yang “tahu apa”. Ada juga pembelajaran dengan pendekatan student centered approach, yaitu pembelajaran yang berpusat pada siswa dimana siswa aktif dan berperan untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman belajar. Dengan pendekatan ini, maka akan menghasilkan siswa yang “tahu apa” dan “bisa apa”.
Kurikulum yang ada memang masih memiliki produk nilai. Ada Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), ada syarat kenaikan kelas, dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Namun bukan berarti kita tidak dituntut untuk memperbaiki proses belajar.
Standar kurikulum hanyalah ukuran standar yang kita sebagai guru bisa memperluas dan memperbesarnya. Justru dengan adanya standar kurikulum seharusnya membuat guru lebih kreatif dalam melaksanakan proses pembelajaran.
Ingat!
Setiap siswa akan belajar sesuai dengan harapan gurunya. Jika guru memiliki harapan agar peserta didiknya mampu menggunakan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari, mampu memecahkan masalah yang dihadapinya, kemudian mampu mengembangkannya, maka anak peserta didik akan memiliki pengalaman belajar yang menantang dan menyenangkan. Namun, jika gurunya berharap hanya meraih nilai yang bagus, maka pengalaman belajar yang diraih anak juga sebatas tes tertulis.
Kita, sebagai guru, datang ke kelas menjumpai anak-anak, bertujuan untuk memberikan pengalaman belajar, meningkatkan taraf berpikir, mengembangkan potensi anak, dan memperbaiki perilaku anak.
Guru memiliki pilihan. Mengajar dengan tujuan hanya untuk menjawab tes tertulis atau memberikan ilmu pengetahuan yang dilengkapi dengan pengalaman mencoba, merasakan, dan mengomunikasikannya dengan orang lain. Pilihan guru akan memengaruhi karakter peserta didik dalam mencari ilmu. Kita, para guru, memiliki kesempatan untuk memberikan yang terbaik untuk generasi yang lebih unggul.
Mari kita manfaatkan kesempatan itu!
Author: Ali Fauzi
SEJUTAGURU merupakan tempat untuk berbagi ide, pemikiran, informasi dan kebijaksanaan hidup. Lebih khusus lagi di bidang pendidikan: guru, pendidik, sekolah, dan proses belajar. Pengelola blog ini adalah seorang guru, orangtua, dan selalu siap menerima dan berbagi ilmu.
2 Comments
blog yang keren
Jadi Lebih baik membelajarkan siswa daripada mengajar siswa.