
Oleh: Ali Fauzi
Aku masuk kelas dan menayangkan sebuah foto. Beberapa foto muncul bergantian. Saat itu aku mengajar anak-anak kelas 5 SD. Aku sengaja fokus pada ekspresi anak-anak saat melihat foto itu kembali. Dan betul, aku melihat ekspresi yang unik.
Melihat foto kembali adalah salah satu caraku menutup tahun pembelajaran. Ya, hanya salah satu dan tentu masih ada yang lain. Tapi, ini adalah yang paling berkesan bagi anak-anak.
Foto yang mereka lihat adalah foto belajar kelompok di awal tahun. Terus, apa istimewanya?
Cara menyikapi perubahan.
Aku mendampingi anak SD kelas atas sudah beberapa kali. Salah satu yang paling aku suka adalah melihat jatuh bangun anak-anak dalam berteman. Memilih teman, membatasi, ego pribadi, dan guyonan tentang lawan jenis. Aku suka bagaimana cara mereka belajar dan menemukan teman. Karena aku suka, maka aku memilih untuk melihat kesalahan anak sebagai proses belajar.
Jika tidak demikian, mungkin aku sudah tergoda berkali-kali menghukum anak.
Aku sering membuat formasi kelompok untuk menata meja kelas. Di formasi inilah, aku memainkan layang-layang. Tarik-ulur. Aku mengulur emosi anak-anak dengan memilih teman sekelompoknya. Lebih sering, aku menarik emosi mereka agar kelak lebih kuat dengan memilihkan teman kelompok.
Dalam satu tahun, anak-anak akan mengalami perubahan teman akrab. Foto yang mereka lihat adalah kondisi awal tahun foto kelompok hasil pilihan mereka sendiri. Kondisi saat ini adalah mereka duduk bersama teman kelompok pilihannya juga.
Pernah, setelah melihat foto, saya minta pendapat anak-anak untuk mengomentari foto tersebut. Hasilnya tidak bagus. Dalam banyak kondisi, berpendapat secara terbuka hanya nyaman bagi pribadi ekstrovert. Namun bagi introvert, mereka lebih memilih diam.
Di tahun berikutnya, aku sediakan lembar perasaan. Di dalamnya terdapat beberapa pertanyaan dan isian. Misalnya,
Teman akrabku semester satu adalah 1… 2….
Saat ini aku (masih/tidak) akrab dengan dia.
Alasanku adalah….
Harapanku adalah….
Dst.
Setelah itu, aku luangkan waktu untuk berbicara satu per satu. Kali ini, aku memanfaatkan dua jam belajar dengan hal yang, menurutku, sangat penting. Belajar mengelola emosi, belajar berteman, dan belajar bersosialisasi.
Aku membicarakan tentang keberanian mengakui, keterbukaan, dan menjaga rahasia. Aku pastikan bahwa anak-anak memiliki alasan yang baik atas keputusan yang mereka ambil. Jika alasannya kurang tepat, maka aku arahkan mengambil pertimbangan yang lain, misalnya akhlak, empati, dan tanggung jawab.
Yang selalu aku sisipkan adalah tentang cara mengelola untung-rugi atas sikap yang kita pilih. Apa untungnya jika aku bersikap ini, dan apa ruginya jika aku bersikap ini, dst. Setiap anak harus dilatih menjadi problem solver.
Hasilnya, sungguh luar biasa.
Pada usia tertentu, kesalahan anak bukanlah murni kesalahan. Kalau anak kelas 5 SD mendorong temannya karena ada yang memasangkannya dengan teman lawan jenisnya, maka pikirkan kembali jika mau menghukumnya. Tidak semua anak mampu menghadapinya dengan tenang. Ada anak yang saking groginya, maka dia emosional dan reflek saja menolak malu itu dengan berbagai cara.
Dia belum tahu cara yang tepat untuk merespon ledekan temannya. Tugas kita bukan menghukum, melainkan membimbingnya.
Selamat mencoba! Dan silakan mengembangkan hal tersebut dengan hal yang lebih bagus.
Salam. www.sejutaguru.com
Author: Ali Fauzi
Orangtua, Guru, Penulis, Pembaca, dan Pembelajar.