
Oleh: Ali Fauzi
Ketika ada yang mengatakan bahwa kelahiran bayi akan mengubah segalanya, maka yang mampu memercayainya dengan baik adalah orangtua yang melahirkan dan terlibat langsung membesarkannya. Dan betul, aku merasakan perubahan itu.
Dari peran ayah, aku menjadi guru yang lebih sayang dan peduli.
Terhadap bayiku, aku mencurahkan waktu untuk menyayanginya. Aku ingin melindunginya dan membuatnya senyaman mungkin.
Ketika di kelas, aku melihat murid tidak lagi semata-mata seorang murid. Aku juga melihat seorang anak yang membutuhkan rasa nyaman, perlindungan, dan kasih sayang. Aku juga melihatnya sebagai anakku sendiri yang masuk ke dalam kelas. Setiap anak, meski sudah agak besar, tetaplah seorang anak yang membutuhkan bimbingan dan kasih sayang. Jika ada yang mengajakku berbicara atau curhat, aku menjadi lebih peduli. Aku membayangkan betapa senangnya anakku ketika kita dengarkan ceritanya.
Dari peran Ayah, pandanganku terhadap orangtua murid juga berubah.
Orangtua memiliki harapan besar terahadap sekolah tempat anaknya belajar. Jika aku ingin menyampaikan perkembangan anaknya di sekolah, terutama tentang sikap, maka aku tidak boleh merasa paling tahu segalanya. Aku ingin berdiskusi dan mengajak orangtua murid sebagai partner dalam tim. Ya, tim yang kompak dalam mendidik anak. Bukan partner tim yang saling menjatuhkan.
Jika ada laporan dari guru tentang sikap anakku di sekolah, maka aku juga tidak boleh merasa paling tahu segalanya. Sikap anak di rumah bisa sangat berbeda dengan di sekolah. Bisa jadi, anak yang kita anggap baik di rumah karena takut terhadap orangtuanya berubah drastis ketika di sekolah. Bisa jadi, anak yang kita puji cerdas saat di rumah, menjadi biasa saja karena banyak temannya yang lebih cepat.
Orangtua dan sekolah harus saling komunikasi dan kerja sama. Ini tidak mudah, terutama bagi orangtua di sekolah-sekolah yang berbayar “mahal”. Mereka lebih mudah tergoda untuk protes dan menggugat gurunya ketimbang mengajaknya bekerjasama. Padahal, keuntungan bagi anak akan jauh lebih banyak yang didapat jika kita bekerjasama dengan guru.
Orangtua lebih paham anaknya ketika di rumah. Gurulah yang lebih tahu tentang anaknya ketika di sekolah. Jalan terbaiknya adalah kolaborasi dan saling komunikasi. Guru tidak sempurna, tapi selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anak didiknya.
Sungguh, aku pernah merasa tidak suka ketika anakku sendiri dihakimi dengan sikap tertentu tanpa konfirmasi. Tapi sebagai orangtua yang juga seorang guru, aku harus tetap proporsional. Latar belakang keluarga, budaya, dan kebiasaan di keluarga akan membentuk sebagian besar sikap anak. Maka, catatan perkembangan anak di sekolah harus dilengkapi dengan kondisi di rumah.
Dari peran ayah, aku juga menjadi lebih happy dan pemaaf.
Karena sayang, kami sering memaafkan anak ketika salah di rumah. Aku memberikan pujian yang tidak berlebihan.
Di kelas, benturan berbagai karakter anak sering terjadi. Ada anak pemurung, pemarah, pendiam, suka bicara, dan lain-lain. Ada anak yang mudah “baper” ketika temannya berbicara sesuatu yang sebenarnya tidak berniat menyakiti siapapun. Ada juga anak yang biasa saja ketika diejek oleh teman-temannya. Aku lebih mudah memaafkan kesalahan anak dalam proses belajar. Bukan menghakimi.
Aku lebih sering melihat kelucuan anak dalam belajar bersikap. Sebagai guru, aku tidak lagi mudah tergoda untuk menghukum anak. Kesalahan, tidak tepat sasaran, salah paham, dan kegagalan adalah bagian dari cara mereka belajar. Yang harus aku sampaikan kepada anak-anak adalah bahwa semua proses itu tidak boleh membuatnya putus asa dan menyerah.
Setiap murid sama dengan setiap anak. Mereka membutuhkan kesempatan untuk berusaha lagi ketika melakukan kesalahan atau kegagalan.
Dari peran guru, aku menjadi ayah yang lebih adil.
Di kelas, aku menghadapi puluhan murid dengan karakter dan emosi yang beragam. Aku harus adil terhadap semuanya. Tidak boleh, kebencian atau kasih sayangku membuatku berlaku tidak adil dan tidak mendidik. Semua anak, juga anak kita, membutuhkan bimbingan, perlindungan, dan kasih sayang orang dewasa di dekatnya.
Terhadap tugas, misalnya, aku juga akan mengukur kemampuan waktu anak di rumah. Ada anak yang setiap hari bekerja membantu orangtuanya. Ada anak yang tidak ditemani orangtuanya ketika pulang sekolah. Ada juga anak yang sepenuhnya didampingi oleh orangtuanya.
Di rumah, aku melihat dan memperlakukan anak sesuai karakter dan usianya. Respon terhadap kakak dan adik di rumah juga aku bedakan. Tugas dan tanggung jawab juga aku sesuaikan. Penanaman disiplin juga aku berikan dengan penekanan yang tidak sama.
Terhadap waktu, aku juga harus adil antara untuk diriku dan anakku. Waktuku selalu tersedia untuk mendampingi anak saat bermain dan belajar. Selelah apapun dan seemosi apapun aku saat pulang kerja, aku tetap harus menyayangi dan memberikan kecupan. Hadiah terbesar justru akan aku dapatkan sepanjang hayat dari anak-anakku yang sholih.
Dari peran ayah, aku menjadi guru yang lebih fokus pada pendidikan karakter.
Ketika memiliki bayi yang tumbuh besar, aku senang ketika kemampuan kognitifnya berkembang. Kebanggaanku semakin besar ketika melihat anakku bisa bersikap yang baik terhadap dirinya dan orang lain. Sejak itu, perhatian terhadap perkembangan karakter anak didik menjadi lebih besar ketimbang mengajar untuk nilai tes saja.
Lahirnya anakku yang kedua, membawa perubahan lebih banyak lagi. Anak yang dilahirkan dari rahim yang sama, rumah yang sama, orangtua yang sama, dan cara yang hampir sama bisa melahirkan anak dengan karakter yang sangat berbeda antara kakak dan adiknya. Sebagai ayah, aku harus mampu menemukan keunikan masing-masing.
Kini, aku tidak pernah lagi memandang semua muridku sama. Aku menjadi lebih sabar untuk menemukan kelebihan setiap anak. Aku mendekati setiap muridku dengan cara yang berbeda-beda. Guru dan Orangtua bisa membuka bakat terpendam anak.
Peran ayah menguatkanku untuk menjadi guru yang lebih baik. Tugas orangtua dan guru Saling melengkapi dan menguatkan. Aku juga memiliki keyakinan bahwa tugas membesarkan anak dan mendidiknya adalah bukan sepenuhnya tugas guru dan sekolah. Karakter baik yang diitanamkan di rumah harus berlanjut dan dijaga selama di sekolah. Karakter baik yang dilatihkan oleh guru di sekolah harus mendapat penguatan yang berulang di rumah. Keduanya harus saling menguatkan.
Ketika orangtua sudah mampu menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak, maka sekolah juga harus mampu menciptakan kondisi yang sama atau bahkan lebih baik. Ketika anak tumbuh di rumah dengan kondisi yang homogen, maka guru di sekolah harus memperkuat pribadi anak untuk menghadapi kondisi yang heterogen di sekolahnya. Kondisi ini harus disadari oleh pihak guru dan orangtua. Jika tidak, maka akan ada saja peristiwa saling menyalahkan.
Sekali lagi, kerja sama dan komunikasi antara sekolah dan rumah menjadi kunci utama dalam pendidikan anak di samping penciptaan lingkungan yang baik.
#sahabatkeluarga
Salam. www.sejutaguru.com
Author: Ali Fauzi
Orangtua, Guru, Penulis, Pembaca, dan Pembelajar.