
Karakter itu…
Sudah tertangkap, divonis bersalah, dibui, dan tetap masih melakukan suap di dalam penjara, itulah karakter.
Di alat pemasak nasi sudah ada garis dan ukuran air, tapi masih saja mengukur menggunakan jari.
Ketika melihat peristiwa tertentu, dia memotretnya, tulis status dan lebih memilih “nyinyir” dan mem-viralkannya di media sosial ketimbang mencari solusi.
Bangga ketika bisa mendahului orang lain pada kondisi yang seharusnya antre.
Sudah ada tong sampah, ada tulisan “buanglah sampah pada tempatnya”, lingkungan terlihat bersih, tapi masih saja menyelipkan sampah di semak-semak atau buang sampah sembarangan sambil seolah-olah tidak melihat.
Karakter itu…
Ketika melamar kerja atau mengurus administrasi tertentu, selalu bertanya “Bisa lewat orang ‘dalem’ gak?”
Ketika ujian belum mulai, cepat-cepat berkata “minta bocoran, pak”.
Ketika share berita yang salah dan diluruskan dengan informasi yang benar, justru marah dan menghina-hina.
Ada berita baru, dinilai dengan emosi, berita-berita lain tidak dihiraukan dan tidak dicari, langsung share. Itulah karakter.
Akibatnya, belum bisa membedakan antara kritik dan fitnah
Karakter itu…
Melihat masalah sebagai tantangan dan bukan ancaman.
Menerima hal baru sebagai tantangan, bukan malah menjawabnya dengan cemoohan.
Pantang menyerah.
Mencari cara baru dalam setiap kesulitan.
Dan masih banyak lagi. Silakan dilanjutkan!
Apakah bisa diubah? Bisa. Tingkat kesulitan mengubahnya tidak jauh dari jumlah usia dan kemauan pribadinya.
Tapi bagi anak-anak kita yang masih belajar, mengubahnya masih sangat mungkin dan mudah. Cukup tanamkan, contohkan, dan lakukan berulang-ulang yang disertai penguatan, tumbuhlah karakter baru.
Berapa lama membentuk karakter? Sepanjang hidup. Dimana tempat terbaiknya? Di setiap tempat.
Salah satu ukuran keberhasilan pendidikan karakter adalah ketika seseorang dalam keadaan sendiri sekalipun, dia tetap berlaku yang benar. Itulah karakter.
Salam.
Author: Ali Fauzi
Orangtua, Guru, Penulis, Pembaca, dan Pembelajar.