Kenapa Mayoritas Guru Sangat Sulit Berubah? Jangan-Jangan, Ini Alasannya

Share
scene film “Good Will Hunting”. film bagus

Oleh: Ali Fauzi

Usianya sudah setengah abad lebih. Rambutnya mulai memutih. Setelan bajunya selalu rapi. Tidak sulit menebak apa profesinya. Ya, dia menjadi guru SD sudah 30 tahun.

Sore itu sambil ngopi, di sela obrolan ringan kami, dia bercerita tentang kekaguman murid terhadap dirinya. Murid sering sekali bertanya tentang rahasia dirinya yang selalu mampu mengajar tanpa membawa buku dan catatan. Anehnya, selalu mampu menerangkan kepada kita dengan sangat tepat.

Sebagai sesama guru, sedikit banyak aku tentu tahu rahasia itu. Tapi aku tidak ingin terburu-buru dengan kesimpulanku sendiri. Aku hanya memancingnya dengan pujian. “Waw, Keren juga nih…”. Dia pun langsung menimpali, “Bagaimana tidak, saya mengajar pelajaran yang sama sudah sepuluh tahun lebih”. Kami pun tertawa.

Continue Reading

Ruang Kelas …

Share
belajar di mana saja || harnas.co

Rumah adalah ruang kelas sesungguhnya bagi anak. Kini, ruang kelas lebih banyak lagi.

Media online menjadi ruang kelas yang paling terbuka. Ketika rumah sudah mulai sepi dari nasihat, contoh baik, dan sepi penghuni, maka media online memenuhi ruang kosong anak-anak.

Model hidup yang kita tampilkan di rumah kepada anak-anak kita akan mejadi pelajaran dan pengalaman nyata bagi anak-anak. Apa yang kita bicarakan, respon kita terhadap banyak hal, dan cara kita mengurus rumah, semua akan masuk rekaman memori anak.

Media online hampir “merebut” peran semua ruang kelas yang ada.

Youtube. Inilah ruang kelas terbesar dalam sejarah setelah Google. Setiap orang bisa belajar dan berbagi apa saja di youtube.

Media sosial (facebook, instagram, twitter, dll) lebih masif lagi. Banyak anak mencari figur, mencari jati diri, dan menjelajah kebanggaan diri melalui media sosial. Memang itulah ruang kelas baru bagi mereka.

Apakah Google, Youtube, dan media-media sosial bisa sepenuhnya menggeser peran guru? TIDAK.

Media online mampu menyesaki otak dengan big data yang wah. Pendidikan tidak hanya urusan otak. Ada pendidikan hati, emosi, dan spiritual.

Continue Reading

Pendidikan Karakter Dari Lionel Messi

Share
messi || sport.detik.com

www.sejutaguru.com||

Ini adalah bocoran dari pelatihnya saat ini.

“Messi normal saja melakukannya karena kita selalu melihatnya. Di antara kita, itu tidak normal, tapi Messi melakukan hal-hal luar biasa dan membuatnya menjadi kebiasaan”, ujar pelatih Ernesto Valverde.

Komentar itu dia katakan ketika Messi mencetak hat-trick dan mengantarkan Barcelona menang 4-0 saat menjamu PSV pada Selasa (18/9/2018).

Yang istimewa adalah kalimat “melakukan hal-hal luar biasa dan membuatnya menjadi kebiasaan”. Inilah awal mula pendidikan karakter, yaitu membangun kebiasaan.

Saya teringat buku Daniel Kahneman yang berjudul Thinking, Fast and Slow. Buku bagus yang akan memperkaya fondasi berpikir kita sebagai pendidik. Buku yang menjelaskan bahwa ada dua sistem cara kita berpikir. Sistem 1 adalah yang cepat, intuitif, dan emosional. Sistem 2 adalah yang lebih lambat, penuh pertimbangan, dan sangat logis.

Continue Reading

Anak Harus Tahu Bahwa Gagal Itu Positif

Share
Makna kegagalan || vix.com

Oleh: Ali Fauzi

Setiap kali latihan soal,  biasanya hanya dua soal, aku sering mengucapkan alhamdulillah ketika ada siswa yang salah dalam menyelesaikan tugasnya.

“Kok, bapak bilang Alhamdulillah. Kan saya salah”.

“Anak yang salah karena telah berusaha sendiri, berarti dia akan menjadi paham dan pintar. Ayo berusaha lagi. Mana yang masih kamu bingungkan?”

Pertama, saya ingin membiasakan anak dengan kegagalan. Saya ingin setiap anak meyakini bahwa kegagalan bukanlah identitas. Ya, identitas bahwa akhirnya “saya menjadi orang gagal”. Kegagalan harus menjadi keyakinan sebagai tindakan. Yang berarti bahwa jika saya gagal maka saya akan mengubah tindakan untuk berusaha lagi.

Continue Reading

‘Mengamputasi’ kebiasaan; Proses Penting Dalam Pendidikan Karakter

Share
mengubah kebiasaan || pixabay.com

Oleh: Ali Fauzi

Aku memulainya dari sebuah “bisikan”.

Tangannya sedang asyik memegang penggaris. Dia berlarian mengintai temannya seolah sedang baku tembak. Dor… dor.. itulah keasyikan bermain tanpa batas bagi anak. Aku mengenalnya sebagai sosok yang tenang, sedikit berbicara, dan senang bermain. Di antara semua keceriaannya, satu yang menarik perhatianku, yaitu kebiasaannya menggigit dasi.

Saat belajar, saat menunggu giliran, atau saat mengerjakan tugas yang agak sulit, tangannya memegang dasi dan langsung masuk mulutnya. Berputar-putar dan digigit sampai basah kuyup. Sungguh, tidak ada yang salah dengan kebiasaan tersebut. Tidak mengganggu belajar ataupun mengganggunya saat berteman dan bermain.

Hanya, sesekali temannya akan meneriakkan, “jijik, jijik, jorok,” dan tangannya langsung mencabut dasi dari mulutnya.

Continue Reading