
Oleh: Ali Fauzi
Setiap kali latihan soal, biasanya hanya dua soal, aku sering mengucapkan alhamdulillah ketika ada siswa yang salah dalam menyelesaikan tugasnya.
“Kok, bapak bilang Alhamdulillah. Kan saya salah”.
“Anak yang salah karena telah berusaha sendiri, berarti dia akan menjadi paham dan pintar. Ayo berusaha lagi. Mana yang masih kamu bingungkan?”
Pertama, saya ingin membiasakan anak dengan kegagalan. Saya ingin setiap anak meyakini bahwa kegagalan bukanlah identitas. Ya, identitas bahwa akhirnya “saya menjadi orang gagal”. Kegagalan harus menjadi keyakinan sebagai tindakan. Yang berarti bahwa jika saya gagal maka saya akan mengubah tindakan untuk berusaha lagi.
Banyak anak yang berbakat di bidang-bidang tertentu, tapi dipaksa memilih tidak menunjukkan bakatnya. Dia takut mendapat penilaian jelek dan malu di depan teman-temannya. Seringkali, lingkungan terlalu cepat menghakimi kemampuanya sehingga banyak sekali anak yang takut mencoba.
Pegolf hebat Ernie Els juga pernah khawatrir dengan kondisi semacam itu. Els akhirnya memenangi turnamen akbar setelah lima tahun dia mengalami musim kering, yakni ketika pertandingan demi pertandingan berlalu begitu saja tanpa dia ikuti.
Ingat juga dengan kegagalan berulang-ulang Ibnu Hajar dalam memahami ilmu dari gurunya sebelum akhirnya berhasil dengan sangat baik. Ingat kegagalan berulang-ulang Thomas Alva Edison, Albert Einstein saat kesulitan membaca, atau masa puluhan tahun Mozart sebelum menghasilkan karya terbaiknya. Dan masih banyak lagi.
Ketika seorang anak sedang belajar, saya memilih untuk mendampingi mereka agar terbiasa dengan kegagalan. Setelah itu, saya tunjukkan bagaimana mengambil tanggung jawab terhadap kegagalan tersebut.
Ketika kita memilih menghibur anak saat gagal dengan menyalahkan lapangan, wasit, kondisi kurang fit, lawan yang curang, dan seterusnya, maka kita telah mengajarkan kepada anak untuk melepas tanggungjawab dan selalu menyalahkan pihak lain.
Pelatih basket legendaris John Wooden mengatakan bahwa anda tidak gagal hingga mulai menyalahkan orang lain. Maksudnya, anda masih dapat terus menjalani proses belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut hingga anda menyangkalnya.
Hampir setiap anak tidak suka dinilai terlalu cepat. Belajarlah dari games permainan anak-anak. Kenapa anak sangat suka bermain games, salah satu alasannya adalah tidak ada yang menghakimi mereka saat mereka gagal dan mereka bebas menocobanya kembali kapan saja. Khusus untuk games, tentu ada sisi negatif dan juga sisi positifnya.
Mari kita melatih anak-anak kita memiliki, dalam istilah Psikolog Carol S. Dweck, mindset yang tumbuh. Salah satu cirinya ketika menghadapi kegagalan adalah belajar dari kegagalan tersebut dan akan berusaha lebih keras lagi untuk meraih keberhasilan.
Untuk itu, kenali ciri-ciri yang memiliki mindset tetap. Yaitu, tidak merasa melakukan kesalahan. Apabila dirinya gagal, yang salah seolah-olah pasti bukan dirinya. Ciri lainnya adalah mengelak, menganggap orang lain curang, mencari kambing hitam, selalu mencari kelemahan orang untuk dihujat, mencari orang-orang yang lebih buruk darinya, dan menghadapi kegagalan dengan lebih memilih memperbaiki citra diri ketimbang dengan berkarya yang lebih baik.
Author: Ali Fauzi
Orangtua, Guru, Penulis, Pembaca, dan Pembelajar.