
Oleh: Ali Fauzi
Namanya Mr. X. Dia guru SMP Kelas IX. Siang itu, seorang murid mendatanginya dengan sebuah berita. Tentu saja bukan berita biasa. Di usia seperti itu, murid melaporkan sebuah kejadian sudah bukan lagi karena mencari perhatian. Bagi sebagian besar mereka, daripada mencari perhatian guru lebih baik mencari perhatian teman lawan jenisnya.
Isi beritanya adalah kasus asusila dan pornografi. Dalam satu tarikan nafas, badan Mr. X mengejang kaget. Gerak tubuhnya berhenti sesaat. Selang beberapa waktu, dia berpikir sejenak sebelum akhirnya melanjutkan aktivitas lain.
Hari berikutnya. Berita itu berlari dengan cepat, lebih cepat dari lompatan kucing liar saat kita siram air. Jika ingin mengetahui berita yang merayap lebih cepat katimbang berita hoax, maka jenis berita ini adalah salah satunya.
Obrolan berita itu menyesaki ruang guru dan ruang kelas murid. Mr. X yang menjadi wali kelas dan pembimbing utama siswa, merasa tidak suka ketika masalah itu menjadi bahan pembicaraan. Entah apa yang sedang melintas dalam pikirannya, tiba-tiba dia berucap, “Sudahlah, tidak perlu diperpanjang. Namanya juga anak-anak”.
Semua mata langsung mengarah satu titik. Kaget. Obrolan menjadi serius dan panjang akibat kalimat tersebut. Jika diladeni, dua kali seduhan kopi bisa saja kurang.
Jujur, masih saja ada guru yang tidak peduli dengan perilaku muridnya. Juga masih saja ada guru yang seolah-olah tugasnya sebagai guru hanya menyampaikan materi pelajaran dan setelah itu selesai.
Ayo bangun, kawan. Jika para guru bersama-sama mulai serius peduli dengan pendidikan karakter muridnya, maka kondisi masyarakat dan bangsa yang lebih baik akan segera kita dapatkan.
Baik sebagai guru maupun orangtua, jika kita sering berkata “namanya juga anak-anak” ketika anak melanggar dan melakukan kesalahan, maka secara tidak langsung kita membolehkan dan menyetujui perbuatannya. Dalam waktu lama, pasti akan menjadi karakter.
Jangan katakan “Namanya juga anak-anak”, jika itu terkait dengan kesengajaan melanggar sopan santun dan kepatutan, melanggar aturan-aturan agama dan norma, serta penghinaan yang berbau SARA. Jangan juga katakan ketika kita sedang dalam proses mendidik karakter anak.
Ketika murid saling berdesakan di kantin tanpa antre, ketika murid membuang sampah sembarangan, ketika murid memotong antrean temannya, Ketika murid mengambil barang milik temannya tanpa izin, ketika murid dengan sengaja melanggar peraturan, dan seterusnya, jangan biarakan dengan berkata lagi “namanya juga anak-anak”.
Membentuk karakter harus dimulai sedini mungkin. Prosesnya tidak boleh putus, dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, dan tahun ke tahun berikutnya.
Namun, katakan “wajar, namanya juga anak-anak” saat kita melihat kesalahan yang dilakukan sesekali. Ya, kesalahan yang dilakukan secara tidak sengaja, kesalahan yang tidak diketahuinya sebagai kesalahan, dan katakan itu saat anak-anak bertingkah lucu mencari perhatian orang lain.
Kuncinya adalah mengatur porsi yang tepat dan memberikan cinta yang tegas.
Katakan “Namanya juga anak-anak”, saat orang bertanya “kenapa anak kelinci jalannya loncat-loncat?”
Salam.
Author: Ali Fauzi
Orangtua, Guru, Penulis, Pembaca, dan Pembelajar.