
Oleh: Ali Fauzi
Permainan roller coaster harus memenuhi standar atau Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) tentang keselamatan. Dengan standar tersebut, pembuat roller coaster tidak pernah kehilangan cara untuk membuat permainan tersebut menjadi menantang dan menyenangkan.
Begitulah seharusnya kita memosisikan KKM.
Menganalogikan KKM dalam belajar dengan permainan roller coaster tidak sepenuhnya tepat. Roller coaster adalah benda mati, sedangkan proses belajar adalah proses dinamis dengan modal dan kondisi yang berbeda-beda. Analogi di atas hanyalah pemantik untuk melihat KKM dari sudut pandang lain. Mari kita ulik titpis-tipis saja.
Semua guru sudah mengetahui bahwa penetapan KKM ada syarat dan tujuannya. KKM menjadi masalah ketika syarat-syarat penetapannya tidak dipakai dan yang menetapkan bukan guru yang bersangkutan, misalnya ditetapkan baku oleh sekolah atau dinas pendidikan. Lebih sulit lagi, jika KKM tidak fleksibel dan tidak bisa berkurang.
KKM selalu menjadi pembicaraan saat berkaitan dengan murid yang kesulitan mencapainya. Pada posisi ini, tentu saja bukan murid yang jadi buah bibir, melainkan aturan KKM yang jadi sorotan. Misalnya, nilai yang ditulis dalam rapor minimal harus KKM, bagaimanapun kondisi dan kemampuan anak maka harus kita beri penghargaan dengan nilai KKM, dan seterusnya. Inilah biang keladinya. Apakah lantas, yang salah adalah KKM? Tidak sepenuhnya.
Menghapus KKM, tentu bukanlah solusi.
Semua komposisi kurikulum mengikuti batas KKM ketika menentukan proses dan mengukur hasil. Padahal, isi kurikulum sangat kompleks. Penyebabnya bisa jadi, ini hanya salah satu contoh, materi terlalu gemuk, terutama di tingkat sekolah dasar. Kondisi ini sering menuntut guru menjadi pembalap. Ya, guru harus kebut-kebutan mengejar materi sepanjang tahun. Akibatnya adalah muncul kalimat “yang penting sudah dipelajari. Urusan bisa atau tidak bisa, belakangan”. Dengan kondisi seperti ini, materi pembelajaranlah yang harus menjadi sorotan.
Berikutnya. Jika masih ada murid yang sulit mencapai KKM, seharusnya muncul pertanyaan berikut: Usaha apa yang sudah guru lakukan? Cara kreatif apa yang sudah ditambahkan? Jangan sampai menyalahkan hasil ketika tidak mengubah prosesnya. Apakah murid yang kesulitan belajar tetap kita perlakukan dengan cara yang sama? Apakah remedial saja cukup? Pada posisi ini, KKM justru bisa menjadi pemantik kreativitas bagi guru. Metode pembelajaran bisa dikembangkan menjadi lebih menarik dan menyenangkan.
Kenapa guru yang harus capek? Tidak, guru tidak boleh sendiri, orangtua harus ikut membantu. Akan tetapi, di sekolah guru harus membantu murid. Ketika murid kesulitan dalam belajar, maka harus ada orang dewasa yang menunjukkan jalan, minimal menjaga semangat belajar murid agar tidak hilang.
Perbincangan KKM, baik di dunia nyata maupun dunia maya, masih sering berkutat pada kemampuan kognitif. Mari kita coba kembangkan KKM di bidang afektif dan karakter. Buatlah yang spesifik dan ketat agar mudah menentukan KKM-nya. Mari kita ubah dari kalimat “berperilaku baik” menjadi, misalnya, “mampu antri”, “hormat pada guru”, dll.
Terimakasih.
2 Comments
http://www.pemerintahan.uma.ac.id : Terimakasih Infonya Gan
setuju gan, membuat kkm bukan hanya sekedar saja. Tp harus sesuai dengan kondisi sebenarnya