Bulan
lalu, Jack Ma berbicara tentang pendidikan di World Economy Forum. Salah satu poin
penting yang menjadi perhatian Jack Ma adalah bahwa perubahan pendidikan
sebaiknya tidak berfokus pada kurikulum, melainkan pada kapasitas peserta didik.
Di antara kapasitas tersebut adalah kapasitas LQ di samping IQ dan EQ.
Jika
anda pernah flu atau pilek, anda pasti tahu tulisan di bungkus obat. “Menghilangkan
flu. Bla bla bla dan Mengakibatkan mengantuk”. Hampir setiap obat, kini
menuliskan efek samping sebagai peringatan.
Apakah
kita juga mengharap hal tersebut terjadi pada dunia pendidikan? Jangan-jangan,
kita tidak akan pernah mendapatkannya.
Terkadang,
cara membaca seorang anak lebih memiliki keunggulan dari cara membaca orang
dewasa. Bagaimana tidak, orang dewasa seringkali mendekati sebuah teks dengan
mengharapkan kebenaran tertentu. Jika isi teks tidak sesuai dengan harapan
awal, bukannya mengolah dengan mode deep thinking, ia tak segan-segan
menghardik penulis.
Ishak
Bashevis Singer, pemenang nobel sastra, menulis dalam berbagai genre termasuk
genre anak-anak. Dalam esainya yang berjudul “Alasan Saya Menulis Untuk
Anak-anak”, dia memberikan titik tekan dan seruan yang penting.
Menurutnya,
“Anak-anak membaca buku, bukan ulasan”.
Mari,
kita cek apa yang kita lakukan! Mulai dari membaca buku, datang ke bioskop, memilih
tempat makan, sampai memilih calon pasangan hidup. Masih adakah dari deretan
tersebut yang kita lakukan hanya karena ulasan dan pendapat orang?
Di ruang-ruang kelas, seringkali kita menilai anak didik kita berdasarkan pendapat guru lain.
Memang
tidak salah. Ulasan dan pendapat orang lain bisa menambah sudut pandang jika
kita meletakkannya di laci yang tepat di otak kita. Namun, jika ulasan orang
lain menjadi satu-satunya kaca mata, maka kemana akal pikiran bebas kita? Bukankah
Allah bersabda,” jangan kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya”.
Steven
D. Levitt & Stephen J. Dubner menulis dalam salah satu buku mereka bahwa
akan sangat baik jika kita menyelundupkan sedikit naluri kekanak-kanakan kita. Dengan
demikian, kita bisa menanggalkan sedikit sifat orang dewasa yang paling
merusak, yaitu kepura-puraan.
Studi
banding ke sekolah lain seringkali tidak menghasilkan perubahan yang
signifikan. Para guru atau pemimpin sekolah seringkali lebih mencari program
baru ketimbang mencari solusi.
Lihatlah
Gojek, Grab, Traveloka, Blibli, Instagram, Facebook, OVO, dan aplikasi lainnya!
Mereka hadir bukan untuk menjual aplikasi. Mereka, sesungguhnya, juga tidak
menjual barang. Mereka hadir dan bertarung untuk memberikan solusi. Jika bukan
solusi yang membantu banyak orang dalam kehidupan sehari-hari, maka platform
tersebut tidak akan mampu bertahan.
jebakan teknologi dalam pendidikan || sumber gambar: nytimes.com
Oleh: Ali Fauzi
Tahun 2011, New York Times menulis berita “In Classroom of Future, Stagnant Scores”. Tulisan tersebut membahas sebuah sekolah yang sejak tahun 2005 telah menginvestasikan sekitar 33 juta dolar dalam teknologi.
Sayangnya, justru tidak berbuah baik.
Memang, hasilnya adalah ruang kelas berubah drastis. Setiap siswa menggunakan laptop dan tablet saat beajar, papan tulisnya digital dan dapat dikendalikan melalui komputer, ruang kelas pun hadir dengan kelengkapan digital yang membuatnya menjadi kelas dinamis abad 21. Bahkan, beberapa tugas dan informasi sekolah, mereka integrasikan ke sosial media.
Sayangnya, saat ujian sekolah, hampir seluruh wilayah lain mengalami peningkatan nilai ujian, sekolah tersebut dengan segala inovasinya, mengalami perolehan nilai yang stagnan dan tidak berkembang. Hal itu terjadi dalam beberapa tahun.
Anak
anda sudah berangkat sekolah. Satu jam kemudian, anda melihat tugas anakmu masih
tergeletak di meja ruang tamu. Anak anda mengatakan bahwa dia harus
mengumpulkannya hari ini. Dan, anak anda lupa membawa ke sekolah hari ini.
Mana
yang lebih anda pilih: segera mengambilnya dan mengantarkannya ke sekolah, atau
membiarkan begitu saja?
Jawaban
dari para ilmuwan psikologi adalah lebih baik memilih yang kedua. Yaitu, tidak
mengantarkan tugas itu ke sekolah anak anda. Apakah kejam? Sebagian orang akan
memandang kejam dengan keputusan ini. Mereka merasa kasihan dengan anaknya yang
sudah mengeluarkan tenaga untuk menyelesaikan tugas tersebut. Ini kan,
kesalahan sepele. Kita harus tetap menyelamatkannya. Hadiah tambahannya, anak
anda akan menganggap anda sebagai pahlawan.
diskriminasi guru. sejutaguru.com || sumber gambar: internet
Oleh: Ali Fauzi
Ada
yang sadar, ada juga yang tidak sadar. Banyak yang sudah membuangnya, lebih
banyak lagi yang masih memilikinya. Padahal, jika kita membiarkannya terus
menerus, akan berakibat buruk dalam pendidikan. Itulah efek dari Diskriminasi
Bawah Sadar.
Istilah
diskriminasi bawah sadar saya temukan dari ilmuwan sosial Malcolm Gladwell.
Kita akan memahaminya perlahan-lahan. Jangan lupa sak-seruput ya…