Para tokoh sudah mendekati pendidikan dari berbagai sisi untuk melakukan perubahan. Ada yang dari kurikulum, praktik mengajar, mengubah asesmen, keterlibatan masyarakat, hingga sudut pandang sosial budaya.
Namun, hampir semua sepakat bahwa investasi terbesar yang harus berubah adalah GURU.
Tulisan singkat ini ingin menilik dari baut kecil bernama ASESMEN.
Beberapa tahun lalu, para ahli di bidang asesmen seperti Susan Brookhart, Jay McTighe, Rick Stiggins, dan Dylan Wiliam mengungkapkan kegelisahan yang sama. Menurut mereka, asesmen di berbagai sekolah tidak lagi komperehensif dan tidak seimbang.
Bulan
lalu, Jack Ma berbicara tentang pendidikan di World Economy Forum. Salah satu poin
penting yang menjadi perhatian Jack Ma adalah bahwa perubahan pendidikan
sebaiknya tidak berfokus pada kurikulum, melainkan pada kapasitas peserta didik.
Di antara kapasitas tersebut adalah kapasitas LQ di samping IQ dan EQ.
Terkadang,
cara membaca seorang anak lebih memiliki keunggulan dari cara membaca orang
dewasa. Bagaimana tidak, orang dewasa seringkali mendekati sebuah teks dengan
mengharapkan kebenaran tertentu. Jika isi teks tidak sesuai dengan harapan
awal, bukannya mengolah dengan mode deep thinking, ia tak segan-segan
menghardik penulis.
Ishak
Bashevis Singer, pemenang nobel sastra, menulis dalam berbagai genre termasuk
genre anak-anak. Dalam esainya yang berjudul “Alasan Saya Menulis Untuk
Anak-anak”, dia memberikan titik tekan dan seruan yang penting.
Menurutnya,
“Anak-anak membaca buku, bukan ulasan”.
Mari,
kita cek apa yang kita lakukan! Mulai dari membaca buku, datang ke bioskop, memilih
tempat makan, sampai memilih calon pasangan hidup. Masih adakah dari deretan
tersebut yang kita lakukan hanya karena ulasan dan pendapat orang?
Di ruang-ruang kelas, seringkali kita menilai anak didik kita berdasarkan pendapat guru lain.
Memang
tidak salah. Ulasan dan pendapat orang lain bisa menambah sudut pandang jika
kita meletakkannya di laci yang tepat di otak kita. Namun, jika ulasan orang
lain menjadi satu-satunya kaca mata, maka kemana akal pikiran bebas kita? Bukankah
Allah bersabda,” jangan kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya”.
Steven
D. Levitt & Stephen J. Dubner menulis dalam salah satu buku mereka bahwa
akan sangat baik jika kita menyelundupkan sedikit naluri kekanak-kanakan kita. Dengan
demikian, kita bisa menanggalkan sedikit sifat orang dewasa yang paling
merusak, yaitu kepura-puraan.
“Mana
yang lebih dulu dalam proses belajar, hard work atau fun?”, tanyaku kepada
beberapa rekan guru. Pertanyaan semacam ini seringkali mendapat respon unik. Ketika
hardwork dan fun menjadi pilihan, maka jawabannya adalah hard work yang fun. Rekanku
memberikan alasan, “saat kita di ranjang dengan istri, kita pasti menerapkan
hard work yang fun.”
Saat
ini, pembelajaran yang menyenangkan telah menjadi unsur pokok dalam proses
belajar. Para ahli otak menyebut bahwa proses seperti itulah yang sangat
efektif sesuai dengan cara kerja otak manusia.
Ketika
yang tertangkap oleh guru adalah rasa senang saja, maka muncul pemahaman yang
tidak lengkap. Seolah-olah, belajar yang menyenangkan adalah tidak ada PR,
tidak ada tugas, tidak banyak hapalan, tidak boleh memaksa anak untuk belajar,
soal dipermudah, dan harus santai.
Anak
anda sudah berangkat sekolah. Satu jam kemudian, anda melihat tugas anakmu masih
tergeletak di meja ruang tamu. Anak anda mengatakan bahwa dia harus
mengumpulkannya hari ini. Dan, anak anda lupa membawa ke sekolah hari ini.
Mana
yang lebih anda pilih: segera mengambilnya dan mengantarkannya ke sekolah, atau
membiarkan begitu saja?
Jawaban
dari para ilmuwan psikologi adalah lebih baik memilih yang kedua. Yaitu, tidak
mengantarkan tugas itu ke sekolah anak anda. Apakah kejam? Sebagian orang akan
memandang kejam dengan keputusan ini. Mereka merasa kasihan dengan anaknya yang
sudah mengeluarkan tenaga untuk menyelesaikan tugas tersebut. Ini kan,
kesalahan sepele. Kita harus tetap menyelamatkannya. Hadiah tambahannya, anak
anda akan menganggap anda sebagai pahlawan.
diskriminasi guru. sejutaguru.com || sumber gambar: internet
Oleh: Ali Fauzi
Ada
yang sadar, ada juga yang tidak sadar. Banyak yang sudah membuangnya, lebih
banyak lagi yang masih memilikinya. Padahal, jika kita membiarkannya terus
menerus, akan berakibat buruk dalam pendidikan. Itulah efek dari Diskriminasi
Bawah Sadar.
Istilah
diskriminasi bawah sadar saya temukan dari ilmuwan sosial Malcolm Gladwell.
Kita akan memahaminya perlahan-lahan. Jangan lupa sak-seruput ya…
Anak adalah kehidupan, Mereka sekedar lahir melaluimu tetapi bukan berasal Darimu. Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu, Curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan Pikiranmu karena mereka Dikaruniai pikiranya sendiri
Berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak jiwanya, Karena jiwanya milik masa mendatang Yang tak bisa kau datangi Bahkan dalam mimpi sekalipun
Bisa saja mereka mirip dirimu, tetapi jangan pernah menuntut mereka jadi seperti sepertimu. Sebab kehidupan itu menuju kedepan, dan Tidak tengelam di masa lampau.
Kaulah busur, Dan anak – anakmulah anak panah yang meluncur. Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian. Dia menantangmu dengan kekuasaan-Nya, hingga anak panah itu meleset, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan sukacita Dalam rentangan Sang Pemanah,sebab Dia Mengasihi anak- anak panah yang meleset laksana kilat, Sebaimana pula dikasihiNya busur yang mantap