Jika
anda pernah flu atau pilek, anda pasti tahu tulisan di bungkus obat. “Menghilangkan
flu. Bla bla bla dan Mengakibatkan mengantuk”. Hampir setiap obat, kini
menuliskan efek samping sebagai peringatan.
Apakah
kita juga mengharap hal tersebut terjadi pada dunia pendidikan? Jangan-jangan,
kita tidak akan pernah mendapatkannya.
“Aku
mencoba cara baru dalam mengajar sejarah, yaitu dikte. Caranya…”
Aku
mengajar di tingkat Sekolah Dasar. Pelajaran sejarah yang disisipkan dalam mata
pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, seringkali bukanlah pelajaran favorit.
Terlebih lagi, materi tersebut menjadi identik dengan hafalan seputar tahun dan
nama seseorang.
Terkadang,
cara membaca seorang anak lebih memiliki keunggulan dari cara membaca orang
dewasa. Bagaimana tidak, orang dewasa seringkali mendekati sebuah teks dengan
mengharapkan kebenaran tertentu. Jika isi teks tidak sesuai dengan harapan
awal, bukannya mengolah dengan mode deep thinking, ia tak segan-segan
menghardik penulis.
Ishak
Bashevis Singer, pemenang nobel sastra, menulis dalam berbagai genre termasuk
genre anak-anak. Dalam esainya yang berjudul “Alasan Saya Menulis Untuk
Anak-anak”, dia memberikan titik tekan dan seruan yang penting.
Menurutnya,
“Anak-anak membaca buku, bukan ulasan”.
Mari,
kita cek apa yang kita lakukan! Mulai dari membaca buku, datang ke bioskop, memilih
tempat makan, sampai memilih calon pasangan hidup. Masih adakah dari deretan
tersebut yang kita lakukan hanya karena ulasan dan pendapat orang?
Di ruang-ruang kelas, seringkali kita menilai anak didik kita berdasarkan pendapat guru lain.
Memang
tidak salah. Ulasan dan pendapat orang lain bisa menambah sudut pandang jika
kita meletakkannya di laci yang tepat di otak kita. Namun, jika ulasan orang
lain menjadi satu-satunya kaca mata, maka kemana akal pikiran bebas kita? Bukankah
Allah bersabda,” jangan kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya”.
Steven
D. Levitt & Stephen J. Dubner menulis dalam salah satu buku mereka bahwa
akan sangat baik jika kita menyelundupkan sedikit naluri kekanak-kanakan kita. Dengan
demikian, kita bisa menanggalkan sedikit sifat orang dewasa yang paling
merusak, yaitu kepura-puraan.
Studi
banding ke sekolah lain seringkali tidak menghasilkan perubahan yang
signifikan. Para guru atau pemimpin sekolah seringkali lebih mencari program
baru ketimbang mencari solusi.
Lihatlah
Gojek, Grab, Traveloka, Blibli, Instagram, Facebook, OVO, dan aplikasi lainnya!
Mereka hadir bukan untuk menjual aplikasi. Mereka, sesungguhnya, juga tidak
menjual barang. Mereka hadir dan bertarung untuk memberikan solusi. Jika bukan
solusi yang membantu banyak orang dalam kehidupan sehari-hari, maka platform
tersebut tidak akan mampu bertahan.
“Mana
yang lebih dulu dalam proses belajar, hard work atau fun?”, tanyaku kepada
beberapa rekan guru. Pertanyaan semacam ini seringkali mendapat respon unik. Ketika
hardwork dan fun menjadi pilihan, maka jawabannya adalah hard work yang fun. Rekanku
memberikan alasan, “saat kita di ranjang dengan istri, kita pasti menerapkan
hard work yang fun.”
Saat
ini, pembelajaran yang menyenangkan telah menjadi unsur pokok dalam proses
belajar. Para ahli otak menyebut bahwa proses seperti itulah yang sangat
efektif sesuai dengan cara kerja otak manusia.
Ketika
yang tertangkap oleh guru adalah rasa senang saja, maka muncul pemahaman yang
tidak lengkap. Seolah-olah, belajar yang menyenangkan adalah tidak ada PR,
tidak ada tugas, tidak banyak hapalan, tidak boleh memaksa anak untuk belajar,
soal dipermudah, dan harus santai.
jebakan teknologi dalam pendidikan || sumber gambar: nytimes.com
Oleh: Ali Fauzi
Tahun 2011, New York Times menulis berita “In Classroom of Future, Stagnant Scores”. Tulisan tersebut membahas sebuah sekolah yang sejak tahun 2005 telah menginvestasikan sekitar 33 juta dolar dalam teknologi.
Sayangnya, justru tidak berbuah baik.
Memang, hasilnya adalah ruang kelas berubah drastis. Setiap siswa menggunakan laptop dan tablet saat beajar, papan tulisnya digital dan dapat dikendalikan melalui komputer, ruang kelas pun hadir dengan kelengkapan digital yang membuatnya menjadi kelas dinamis abad 21. Bahkan, beberapa tugas dan informasi sekolah, mereka integrasikan ke sosial media.
Sayangnya, saat ujian sekolah, hampir seluruh wilayah lain mengalami peningkatan nilai ujian, sekolah tersebut dengan segala inovasinya, mengalami perolehan nilai yang stagnan dan tidak berkembang. Hal itu terjadi dalam beberapa tahun.