Menjelang UN, seluruh tenaga dikumpulkan. Buku pengayaan dan pendalaman materi ditumpuk. Rautan tajam disiapkan untuk menghadapi try out berjilid-jilid. Kisi-kisi dipajang besar-besar. Trik-trik mengerjakan soal siap ditembakkan. Jadwal dipadatkan untuk latihan soal. Pelajaran tertentu diberhentikan demi yang lain. Semua upaya, dari rasional sampai irasional, siap dilakoni demi menghadapi hajat besar ini.
Apakah tahun ini kondisinya masih sama? Sebagian iya, sebagian tidak.
A: Sudahlah, stop memperdebatkan UN atau UNBK. Berhentilah…
B: Gak bisa begitu donk. Ini persoalan serius, kawan.
A: Ini biasa saja kok. Lihatlah, yang berteriak dan protes paling kuat jangan-jangan mereka yang memiliki ketakutan paling besar.
B: Sebentar, saya gak paham dengan ketakutan yang kamu maksud. Jangan-jangan terbalik. Buktinya mereka berani menyampaikan pendapat dan bahkan mengkritik pemerintah.
A: Tidak. Mereka sesungguhnya menunjukkan ketakutan. Ya, takut kalau nilai anak didiknya tidak sempurna. Takut kalau sekolahnya dianggap menurun nilai UN-nya. Takut sekolah binaannya dianggap gagal. Takut dengan pemerintah daerah yang memberikan dana lebih. Takut dengan orangtua murid, dan seterusnya.
B: Menurut aku, tidak begitu cara memahaminya. Kita mempersiapkan diri menghadapai ujian. Kita ajarkan materi sesuai dengan kisi-kisi kementerian pendidikan. Kita mengajar sesuai kurikulum. Maka, seharusnya anak diuji sesuai dengan apa yang dia pelajari. Kalau tidak sesuai, namanya tidak adil. Kita mengkritik untuk perbaikan dan keadilan. Bukan takut.
Terlepas dari kontroversi pelaksanaan Ujian Nasional, kita masih bisa mendapat banyak manfaat positif dari pelaksanaan Ujian Nasional. Beberapa hal dalam mekanisme pelaksanaannya masih perlu banyak penyesuaian, adalah tugas kita bersama untuk saling melengkapi, mengingatkan, dan terus menyempurnakan pelaksanaan evaluasi sekolah di tingkat akhir ini.
Mari kita laksanakan dengan baik tanpa menghilangkan nilai-nilai pendidikan itu sendiri.