GITMO; Lubang Hitam Yang Legal

Share

Judul : NERAKA GUANTANAMO; Kisah Derita Seorang Muslim di Penjara-Khusus-Teroris AS
Penulis : Moazzam Begg
Tebal : 389 hlm.
Penerbit : Mizan, Bandung
Cet. : I, Desember 2005

Guantanamo telah menjadi lubang hitam sejarah Hak Asasi Manusia di zaman pasca-modern. Arogansi politik telah melumpuhkan demokrasi dan hukum internasional yang berlaku. Guantanamo bagi Moazzam Begg tidak hanya sekedar siksaan, melainkan telah menjadi neraka. Begg tidak sendirian, ratusan orang dari berbagai negara telah merasakan pahitnya Guantanamo.
Seolah akan mengulang sejarah kelam masa pra-revolusi Perancis. Di mana, layaknya Bastille, penjara yang dipecah oleh sekelompok revolusioner Paris pada 14 Juli 1789. Nama Bastille tetap hidup sebagai simbol kekejaman meski telah dibuka. Penjara Guantanamo juga akan menjadi simbol pelanggaran hukum internasional dan Hak Asasi Manusia yang akan hidup melebihi umurnya sendiri.
Sejak serangan 11 September 2001, Amerika Serikat mengenalkan politik luar negeri mereka yang berasaskan “War on Teror”. Dan sejak 11 Januari 2002, ribuan orang yang diduga teroris telah dikirim dan ditahan di Guantanamo—sebuah pulau milik Kuba yang disewakan kepada Amerika Serikat. Perlahan-lahan, Guantanamo mulai dibicarakan masyarakat internasional. Guantanamo seolah menjadi hantu baru bagi politik internasional. Sering dibicarakan dan dibahas namun juga dihujat.
Tidak hanya masyarakat internasional yang menjadikan GITMO—panggilan populer Guantanamo—sebagai bahan diskusi yang menarik. Namun masyarakat AS sendiri juga membicarakan GITMO sebagai bukti kesalahan pemerintahannya. Lebih dari lima buku tentang Guantanamo yang telah terbit dan beredar di AS. Beberapa di antaranya menjadi best-seller. Sebut saja buku Guantanamo: What The World Should Know, ditulis oleh Michael Ratner dan Ellen Ray. Sebuah buku yang menceritakan tentang berbagai penyimpangan yang dilakukan tentara AS dalam menangani sejumlah tawanan. Begitu juga buku yang ditulis David Rose berjudul Guantanamo: America’s War on Human Rights. Cerita keduanya hampir mirip meski mengambil kasus individu yang berbeda.
Berbeda dengan buku-buku di atas, buku Neraka Guantanamo karya Moazzam Begg ini merupakan kesaksian tangan-pertama penulisnya yang pernah ditahan selama beberapa tahun tanpa alasan yang jelas. Sebuah buku yang membuka jendela kecil kebobrokan negara besar atas pelanggaran hak asasi manusia. Kejujuran penulis menjadikan buku ini begitu dingin, informatif, dan mengiris hati nurani. Maka tak heran, di awal penerbitannya, buku ini dianggap berbahaya, yang kemudian diikuti sebuah artikel di Harian New York Times pada 15 Juni 2006 dengan judul: Jihadist or Victim:Ex-Detainee Makes a Case. Sekali lagi, buku ini dipandang tidak hanya sebagai buku yang menginspirasi kebencian-kebencian, buku ini juga dipandang sebagai pembuka aib yang selama ini ditutup-tutupi. Moazzam Begg sendiri menulis buku ini dengan autentik dan menuturkan kengerian yang dialaminya tanpa melebih-lebihkan.
Buku ini dibuka dengan kisah penangkapan Begg pada tengah malam tanggal 31 Januari 2002 oleh sekelompok orang yang berpakaian khas Pakistan dan sebagian lagi berpakaian Barat. Selanjutnya, Moazzam Begg diinterogasi dan ditahan di Kandahar selama sekitar enam pekan. Penangkapan dan penahanan berlanjut di Bagram selama 10 atau 11 bulan, dan kemudian baru dipindahkan ke Guantanamo. Sebagaimana para tahanan lain, Begg ditahan tanpa satu alasan yang jelas. Kecurigaan telah membutakan segalanya.
Pada bagian berikutnya, buku ini berjalan ke belakang mengisahkan kehidupan pribadi dan masa kecil Moazzam Begg. Dan buku ini pun berkembang menjadi semacam autobiografi. Moazzam Begg lahir di Sparkbrook, Birmingham. Ayahnya, Azmat Begg, lahir di India. Moazzam Begg menjadi yatim di usia enam tahum ketika ibunya meninggal akibat kanker payudara.
Bersama istrinya, Zaynab, dan tiga anaknya, Begg pindah ke Kabul, Afghanistan pada pertengahan 2001. Begg selalu menegaskan dalam setiap kesempatan bahwa kepindahannya tersebut untuk mewujudkan impiannya menjadi seorang guru. Dan dia pun berhasil menjadi tenaga sukarela di sebuah sekolah. Ketika perang Afghanistan pecah di tahun 2001, dia beserta keluarganya menunggu untuk bisa keluar dari Afghanistan. Pada akhir Januari 2002 tengah malam, Begg ditangkap oleh CIA di Islamabad tanpa alasan yang jelas. Dia hanya diberitahu bahwa namanya dianggap terkait dengan teroris atas peristiwa 11 September 2001. Masa-masa kelam itu pun dimulai.
Moazzam Begg, penulis buku ini, adalah salah satu dari sembilan orang Islam Inggris yang ditahan di Guantanamo, Kuba, oleh pemerintah Amerika Serikat. Begg baru dibebaskan pada 25 Januari 2005 bersama tiga rekan Inggrisnya; Feroz Abbasi, Martin Mubanga and Richard Belmar. Sedangkan lima orang kelahiran Inggris lainnya; Ruhal Ahmed, Shafiq Rasul, Asif Iqbal, Tarek Dergoul and Jamal Udeen dibebaskan pada Maret 2004.
Buku ini ditulis oleh Moazzam Begg bersama Victoria Brittain, seorang wanita yang terlibat secara aktif dengan kehidupan keluarga para tahanan Guantanamo. Sebuah buku yang layak baca bagi mereka yang ingin memahami kebenaran akan kondisi penjara Guantanamo. Buku yang layak baca untuk referensi politik modern. Membaca buku ini akan membuat kita paham bahwa seluruh korban dan tahanan akibat perang melawan teror yang diusung oleh AS, mayoritas tidak bersalah.
Meski buku yang berjudul asli Enemy Combatant, A British Muslim’s Journey to Guantanamo and Back ini tidak seindah buku-buku perjalanan dan kesaksian lainnya, namun kejujuran dan ketulusan penulisnya membuat kita merasakan bagaimana pedih dan sulitnya menjadi tahanan politik yang tidak jelas.
Pada Mei 2005, Lembaga Amnesty International mengeluarkan laporan tahunannya dengan judul “gulag of our time”. Bahkan dalam laporan tersebut juga digunakan kata-kata “The Gulag Archipelago” untuk membandingkan penjara Guantanamo dengan kamp kerja paksa Gulag –nya Soviet di tahun 1930-an yang mempekerjakan secara paksa 20 juta warga Soviet dan diperkirakan telah mengakibatkan jutaan orang meninggal.
Pada akhirnya, bagaimanapun keberadaan penjara Guantanamo telah melukai Hak Asasi Manusia dan hukum internasional. Membaca buku ini membuat kita bangun dari tidur dan menyadarkan kita bahwa sekian banyak kekejaman manusia yang dilegalkan oleh aturan-aturan tertentu tanpa mempertimbangkan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Arogansi politik telah membutakan demokrasi. Sekali lagi, GITMO telah menjadi ‘Lubang Hitam’ yang dilegalkan.

Author: Ali Fauzi

SEJUTAGURU merupakan tempat untuk berbagi ide, pemikiran, informasi dan kebijaksanaan hidup. Lebih khusus lagi di bidang pendidikan: guru, pendidik, sekolah, dan proses belajar. Pengelola blog ini adalah seorang guru, orangtua, dan selalu siap menerima dan berbagi ilmu.

Artikel terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.