KESAKSIAN SEORANG DOKTER DARI LEBANON

Share


Judul : Tears of Heaven; Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan di Kamp Pengungsian Palestina
Penulis : Dr. Ang Swee Chai
Alih bahasa : Dina Mardiana
Tebal : 656 hlm.
Penerbit : Mizan, Bandung
Cet : I, Juli 2006

Pada saat terbit pertama kali tahun 1989, buku yang berjudul asli “From Beirut to Jerusalem” karya dr. Ang Swee Chai ini membuat banyak orang Amerika marah karena kesaksiannya yang berani dan vulgar tentang pembantaian massal di Sabra-Shatilla, kamp pengungsi Palestina di Beirut, Lebanon, pada 1982. Tidak lama setelah itu, pencetakan dan penerbitan buku ini dihentikan.

Satu tahun kemudian, penerbit Harper Collin mengembalikan hak cipta kepada dr. Ang Swee dan menerbitkan buku “From Beirut to Jerusalem” versi Thomas Friedman, seorang kolumnis koran terkemuka Amerika Serikat, New York Times. Sebuah buku yang sama-sama mengulas tentang konflik Arab-Israel. Tentu saja versi Friedman lebih populer bagi orang Amerika.

Penulis buku ini, dr. Ang Swee Chai, adalah seorang dokter bedah ortopedi kelahiran Penang, Malaysia. Buku “Tears of Heaven” merupakan kesaksian nyata tentang pembantaian manusia yang menukik hingga inti permasalahannya. Sebuah buku yang penuh darah dan kengerian. Tak ada buku lain yang lebih otoritatif dan paling detil menceritakan pembantaian Sabra-Shatila selain buku ini; termasuk bahkan di antara buku yang ditulis oleh orang-orang Arab maupun Muslim sendiri.

Buku yang tergolong gemuk ini menuturkan secara kronologis kesaksian dan perjalanan penulisnya dari Lebanon hingga Jerusalem. Buku ini dimulai dengan sejarah singkat background keluarga tempat dr. Ang Swee tumbuh. Sebagai seorang kristen fundamentalis, dr. Ang Swee tumbuh dalam keyakinan yang mendukung Israel, membenci orang-orang Arab, dan memandang PLO sebagai teroris yang harus dikutuk dan ditakuti. Namun setelah menyaksikan televisi tentang penyerbuan tentara Israel ke Lebanon, pandangan dr. Ang Swee tentang Israel, PLO, dan orang-orang Arab-Palestina, berubah.
Melihat penyerbuan yang terus menerus berlangsung, hati dr. Ang Swee tergerak pedih. Dalam salah satu pengakuannya, dr. Ang Swee mengatakan, setidaknya kepedihan itu “pertama, karena mereka telah disakiti oleh Israel, kedua karena aku seorang kristiani, dan ketiga karena aku seorang dokter”. Akhirnya, dr. Ang Swee mendapatkan kesempatan untuk membantu dan menolong para korban perang di Lebanon.

Di Beirut, khususnya di Sabra-Shatila, dr. Swee tidak hanya menemukan betapa bergunanya ketrampilan menjadi dokter dalam menolong manusia lain, tapi juga tentang betapa terbatasnya profesi ini dalam situasi segila itu. Berada di tengah pembantaian, dr. Swee mengaku tidak berdaya: sementara menolong orang yang sekarat, dia melihat tak jauh darinya perempuan dibantai dan diperkosa seperti binatang. Di hari berikutnya, orang-orang bersenjata memasuki rumah sakit dan memerintahkan semua orang yang memegang paspor luar negeri untuk meninggalkan tempat itu. Dipaksa meninggalkan tempat itu, para dokter digiring melalui kamp. Pemandangan saat itu masih terus menghantuinya sampai sekarang. “Ada banyak orang dikumpulkan, pria, wanita, dan anak-anak yang memandang kami dengan mata penuh ketakutan,” kenang dr. Ang Sweee. “Mayat ada di mana-mana. Saya tersandung sesosok mayat.” Dalam kengerian, ia lihat mata mayat itu telah dicungkil.

Perjalanan dr. Ang Swee Chai, yang kini tinggal di Inggris, merupakan pengalaman yang tak terlupakan. Ia menjadi saksi korban-korban pembantaian yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat sipil, wanita dan anak-anak. Kondisi itu telah mengubah pandangannya yang semula mendukung Israel dan menganggap orang-orang Arab sebagai teroris, kini ia mendukung setiap upaya kemanusiaan untuk menyelamatkan korban-korban kekejaman Israel yang pada umumnya adalah bangsa Arab.

Ilmu kedokteranlah yang telah membuat buku ”From Beirut to Jerusalem” jauh lebih bermakna ketimbang buku-buku yang bisa ditulis seorang wartawan perang. dr. Swee bisa secara rinci melukiskan jenis luka, peluru apa yang merobek tulang tengkorak korban, dan bahan-bahan kimia apa yang terkandung dalam amunisi Israel. Detail kepedihan fisik dan psikis sangat terasa. Gaya bertuturnya yang mengalir membuat buku ini mudah diikuti dan dicerna. Meski barangkali tidak seindah kisah-kisah perjalanan seperti karya Naipul dan Theroux, namun pembaca akan dapat merasakan emosi kepedihan dan pergolakan yang dialami dr. Ang Swee.

Buku ini juga menceritakan pada 1984 ketika Ang kembali ke Inggris, dia dan beberapa pekerja medis membentuk badan amal untuk membantu warga Palestina. Mereka menamakannya MAP, Medical Aid for Palestine. Mereka bertujuan membangun kembali rumah sakit-rumah sakit Palestina dan menyediakan suplai obat-obatan. Berkat pengorbanan itulah pada 1987, pemimpin PLO, Yasser Arafat, menganugerahi dr Ang Swee Chai dengan gelar Star of Palestine. Inilah penghargaan tertinggi bagi pengabdian kepada rakyat Palestina. Setelah dimulainya Intifada, Ang mengalihkan perhatiannya untuk membantu warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat.

Lebanon seolah telah menjadi tanah air kedua bagi dr. Ang Swee. Setiap kali kekerasan menimpa Lebanon dan orang Palestina, setiap kali itu pula hatinya terpanggil dan berangkat kesana. Tahun 1985, ketika perang Ramadhan, juga tahun 1988 ketika intifada baru dimulai, dia harus kembali lagi ke Lebanon.

Perjuangan Dr. Ang Swee tidak hanya membantu para korban perang. sebagai orang Timur, ia juga harus berjuang melawan Pers Barat dalam mengungkap kebenaran dan kemudian bersaksi di depan komisi Kahan yang menyelidiki pembantaian itu. Komisi tersebut, akhirnya memutuskan bahwa Menteri Pertahanan Ariel Sharon (yang di kemudian hari menjadi Perdana Menteri) bertanggung jawab “secara personal” atas pembantaian itu dan dipaksa mundur dari jabatannya pada 1983.

Buku ini pada awalnya adalah surat-surat Dr. Ang Swee selama di Lebanon kepada suaminya, Francis Khoo yang berada di London, yang dititipkan melalui palang merah internasional atau para jurnalis. Judul “From Beirut to Jerusalem” dipilih karena bagi Dr. Ang Swee ada harapan besar yang masih menyala dalam diri setiap orang Palestina bahwa kelak suatu hari nanti mereka akan dapat kembali ke tanah suci, Jerusalem.

Membaca buku ini berarti merasakan dari dekat pembantaian manusia melalui pengalaman penulisnya. Buku ini juga dapat menjadi pelajaran untuk bersikap rendah hati, peduli terhadap sesama yang terkena musibah, juga merupakan semangat tinggi untuk tetap bertahan hidup sebagai manusia dan masyarakat. Pesan utama buku ini adalah, selamatkan Lebanon, selamatkan masyarakat manusia dari kekejaman dalam bentuk apapun.
Akhirnya, melalui buku ini juga upaya dr. Ang Swee Chai berkeliling ke berbagai negara adalah untuk menuturkan pengalamannya kepada orang-orang. “Saya ingin dunia mengetahui pembantaian itu,” katanya.[]

Author: Ali Fauzi

SEJUTAGURU merupakan tempat untuk berbagi ide, pemikiran, informasi dan kebijaksanaan hidup. Lebih khusus lagi di bidang pendidikan: guru, pendidik, sekolah, dan proses belajar. Pengelola blog ini adalah seorang guru, orangtua, dan selalu siap menerima dan berbagi ilmu.

Artikel terkait

1 Comment

  1. Kejujuran hati akan selalu benar,meskipun Ia berlainan Agama…Emg bangsa terlaknat Israel

Leave a Reply

Your email address will not be published.