
Oleh: Ali Fauzi
“Kecil Itu Indah”. Rakyat Finlandia selalu mempercayai hal itu dalam hidupnya. Dalam bisnis, politik, dan diplomasi, orang Finlandia mengandalkan bicara langsung dan prosedur sederhana. Mereka ingin memecahkan masalah, bukan membicarakan masalah.
Dalam pendidikan, mereka pun tidak basa basi. Salah satu nilai pendidikan Finlandia adalah meletakkan pengajaran dan belajar di atas segala-galanya ketika kebijakan tentang pendidikan sedang dibahas. Dan bangsa Finlandia betul-betul melakukan reformasi pendidikan jangka panjang yang kini dielu-elukan dan ingin ditiru hampir semua bangsa di dunia.
Keberhasilan pendidikan Finlandia telah mendorong banyak orang dari seluruh penjuru dunia untuk mencari formula kesuksesan tersebut. Namun, rahasia itu belum banyak ditemukan. Justru yang muncul di antaranya adalah paradoks-paradoks aneh.
Paradoks menurut kamus besar bahasa indonesia adalah pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran.
Di atas semua itu, bangsa Finlandia tampaknya tidak percaya bahwa melakukan hal yang sama, meskipun lebih banyak, akan pasti menyebabkan perbaikan yang signifikan.
Tulisan ini merupakan refleksi dan kaji baca ulang atas buku Finnish Lessons; What Can The World Learn from Educational Change in Finland? Karya Pasi Sahlberg yang terbit tahun 2011.
Di tengah maraknya berbagai isu dan rencana kebijakan pemerintah di bidang pendidikan, misalnya tentang sekolah sehari penuh dan sekolah lima hari, tulisan ini akan menyadarkan kita tentang perbaikan-perbaikan mendasar di dunia pendidikan.
Bagi yang akrab dengan perkembangan dan sistem pendidikan di Finlandia, maka pencanangan kurikulum 2013 merupakan bagian dari upaya mengubah-sesuaikan sistem pendidikan terbaik dari berbagai negara di dunia. Sistem pendidikan Finlandia adalah salah satu penyumbang favorit.
Dari berbagai kajian dan pembicaraantentang pendidikan di Finlandia, muncullah paradoks-paradoks sebagai berikut:
- Sedikit mengajar, belajar lebih banyak
Biasanya, untuk memperbaiki siswa yang prestasinya kurang, maka akan mendapatkan jam tambahan lebih banyak di luar pelajaran. Maka, jam belajar siswa bertambah, jam mengajar guru pun juga ikut bertambah.
Pengalaman Finlandia menantang logika ini.
PISA (Programme Internationale for Student Assesment) melakukan studi dengan hasil bahwa negara-negara berprestasi tinggi dalam semua wilayah akademik yang dicakup PISA, ternyata kurang mengandalkan waktu pengajaran formal sebagai penggerak belajar siswa. Negara-negara ini misalnya Finlandia, Korea, dan Jepang.
Sedangkan negara-negara dengan tingkat prestasi akademik yang jauh lebih rendah (misalnya, Italia, Portugal, dan Yunani) menuntut secara signifikan lebih banyak pelajaran formal bagi siswa-siswa mereka.
Jam belajar siswa yang panjang sangat baik. Namun apakah jam belajar formal yang panjang juga baik? Bisa iya bisa tidak. Jika pengelolaan yang kurang tepat, maka akan berdampak pada jam mengajar dan aktivitas guru. Ingat, bahwa di Finlandia Sedikit mengajar, belajar lebih banyak
Menurut catatan OECD tahun 2010 (Organization for Economic Cooperation and Development) tentang variasi jumlah jam mengajar guru di bebagai dunia. Di Sekolah Menengah Pertama, guru Finlandia rata-rata mengajar sekitar 600 jam pertahun. Dengan satu jam pelajaran sama dengan 45 menit (rata-rata empat jam pelajaran perhari). Di Amerika Serikat, menurut OECD, rata-rata total jam mengajar guru di sekolah menengah pertama adalah 1080 jam, dengan satu jam pelajaran sama dengan 50 menit. (rata-rata enam jam pelajaran perhari).
Guru di sekolah-sekolah Finlandia memiliki banyak tanggung jawab lain di luar mengajar. Mereka menilai prestasi dan kemajuan menyeluruh siswa mereka, mempersiapkan dan turut serta mengembangkan kurikulum sekolah. Enam jam pelajaran perhari sungguh meletihkan guru untuk bisa melakukan evaluasi menyeluruh terhadap siswa dan melakukan pengembangan diri.
Para pendidik Finlandia tidak percaya bahwa mengerjakan lebih banyak PR, menjamin belajar yang lebih baik, terutama jika siswa mengerjaka latihan-latihan berulang (drill) yang rutin.
- Sedikit ujian, belajar lebih banyak
Banyak yang mengukur keberhasilan sebuah sekolah berdasarkan nilai ujian nasional. Jika tidak ada alat ukur lain yang lebih baik, maka memang sah-sah saja menjadikan nilai ujian nasional sebagai alat ukur. Sayangnya, risiko sosial dan administratif yang diterima sebuah sekolah jika mendapatkan nilai ujian nasional yang kurang baik sangat tinggi.
Risiko tinggi inilah yang mampu menggeser identitas pendidikan dan belajar megajar menjadi “mengajar demi tes”.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa guru cenderung merancang ulang cara mengajar mereka agar sesuai denga materi ujian. Lebih memprioritaskan mata pelajaran ujian nasional. Dan menyesuaikan metode mengajar menjadi latihan berulang (drilling) dan menghafal informasi ketimbang memahamai pengetahuan.
Metode mengajar yang menarik dan menyenangkan sering dikorbankan demi mengejar peningkatan nilai tes.
Di Finlandia juga ada tes atau asesmen terhadap siswa. Ada asesmen oleh guru di kelas, evaluasi menyeluruh terhadap kemajuan siswa, juga asesmen nasional dengan metodologi berbasis sampel.
Di Finlandia, tidak ada ujian terstandar dengan risiko tinggi. Maka, guru dapat berfokus pada proses belajar megajar tanpa ada gangguan berulang harus lulus ujian.
- Lebih berkeadilan dengan menumbuhkan keragaman
Ini merupakan bagian dasar dalam membangun sistem pendidikan. Yaitu, membangun pendidikan dan infrastrukturnya secara merata di seluruh wilayah.
Setelah membaca ulasan singkat ini, tentu muncul berbagai pertanyaan. Apa yang dilakukan siswa jika di sekolah hanya sebentar? Bagaimana mengatur kinerja guru agar efektif dan mampu membantu meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah? Bagaimana mengatur bentuk asesmen yang tepat sasaran bagi siswa? Dan seterusnya.
Luangkan waktu, sisihkan uang, sempatkan diri, dan lengkapi diri dengan membaca berbagai informasi. Buku ini hanyalah salah satu informasi tersebut. Sumber lain jauh lebih banyak dan lengkap.
Selamat membaca dan memperluas pengetahuan!
Author: Ali Fauzi
Orangtua, Guru, Penulis, Pembaca, dan Pembelajar.
1 Comment
FULL DAY YANG BERMAKNA
Ada wacana full day school. Ada usul jam bljr mapel-mapel tertentu ditambah. Ah, apa mmg mesti begitu. Saya di lapangan pendidikan sejak 1975. Setengah jam belajar dan pembelajaran yang berkualitas jauh lebih bermakna drpd satu jam belajar dan pembelajaran yang asal jalan. Dalam praktik, budaya pendidikan kita lebih berorientasi pada paradigma keterlaksanaan, belum paradigma kebermaknaan. Di situlah letak masalah pendidikan kita, kawan! Salam perubahan..!