
Oleh: Ali Fauzi
Hampir tidak ada yang lebih penting dalam pendidikan selain motivasi. Seorang anak bisa saja berangkat sekolah tanpa motivasi. Mereka akan tetap sampai sekolah, tetap belajar, dan tetap bisa belajar sesuatu.
Perbedaannya, barangkali hanya persoalan cara dan kemauan belajar. Seorang anak yang telah memiliki “motivasi” belajar akan merasakan kenyamanan saat belajar. Namun bagi anak yang tidak memiliki motivasi, proses belajar hanya akan terasa sangat lama, panjang, membosankan, berat, dan melelahkan.
Sir ken robinson, seorang penulis dan pembicara internasional di bidang pendidikan, pernah mengungkapkan:
Petani dan tukang kebun tahu bahwa kamu tidak memiliki kemampuan membuat tanaman bisa tumbuh. Setiap tanaman tumbuh dengan sendirinya. Apa yang bisa kamu lakukan adalah menyediakan kondisi dan suasana untuk bisa tumbuh.
Ya, tugas seorang guru sesungguhnya adalah menyediakan dan menciptakan kondisi untuk tumbuh. Kondisi itu bisa muncul dari dalam maupun dari luar. Maka, bentuk motivasi siswa pun dibagi menjadi dua, motivasi dari dalam diri siswa (intrinsic) dan motivasi dari luar diri siswa (extrinsic).
Hukuman, penghargaan, konsekuensi, hadiah, nilai, dan iming-iming lainnya adalah bagian dari bentuk dari kondisi yang bisa memunculkan motivasi siswa dari luar. Pada kenyataannya, hal-hal seperti inilah yang justru sangat sering kita jumpai dalam pendidikan kita.
Seorang anak terkadang tampak tidak pernah melakukan kesalahan, namun mereka melakukan itu dengan alasan takut akan mendapat sanksi atau hukuman. Padahal, salah satu dampak negatif kondisi ini adalah ketika seorang anak memiliki pikiran dan hanya berpikir tentang menghindari hukuman tanpa berpikir meraih prestasi. Takut dan takut.
Banyak juga seorang anak yang mencapai prestasi tertentu karena ada imbalan hadiah di belakangnya. Sungguh, praktik-praktik seperti ini tidak sepenuhnya salah. Praktik ini akan berdampak negatif dalam jangka panjang jika menjadi satu-satunya cara dalam memotivasi peserta didik.
Sebuah studi menunjukkan bahwa konsekuensi, hukuman, reward, dan iming-iming lainnya hanya mampu memunculkan motivasi sesaat dalam waktu pendek. Risikonya adalah mengesampingkan motivasi intrinsik dan dan selalu menimbulkan pamrih.
Wahai para guru yang mulia, mari kita lengkapi dengan penyediaan kondisi dan suasana yang selalu bisa membuat siswa menjadi pribadi yang cinta belajar dan bukan cinta imbalan. Pribadi yang merindukan belajar, pribadi yang memiliki kecintaan terhadap kesantunan, kebaikan, keindahan, kehormatan, dan kebijaksanaan hidup. (baca juga: Kalimat Yang Akan Mengubah Pola Pikir Guru Di Kelas)
Bagaimana membedakan seorang anak yang sudah memiliki motivasi dan yang belum?
Mari, kita ulik dari pendapat para ahli pendidikan terkait unsur-unsur motivasi intrinsik.
Pertama, autonomy. Yakni, kemampuan kontrol atau memilih terhadap apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya.
Pada kondisi ini, seorang anak berarti mampu menentukan sikap ketika dirinya merasa belum bisa dan mengerti apa yang harus dilakukan. Di sisi lain, ada seorang anak yang hanya pasrah, santai, dan diam ketika dia tidak paham terhadap materi belajar.
Cara yang bisa kita lakukan untuk sampai ke tahap ini, sebagai guru atau orangtua, adalah sering mengajaknya berbicara dan bertanya, “apa yang harus kita lakukan dalam kondisi seperti ini?”, dan seterusnya. (baca juga: 3 Aktivitas Untuk Melatih Fokus Anak)
Kedua, competence. Yakni perasaan mampu terhadap dirinya sendiri.
Tahap ini, anak sudah memiliki keyakinan bahwa dirinya bisa dan mampu melakukan sesuatu sampai berhasil. Modal yang sangat penting bagi anak adalah mempercayai dirinya sendiri. Sungguh tidak baik jika seorang anak sudah menganggap dirinya tidak mampu dan “bodoh”. (baca juga: 5 Hal Yang Bisa Membunuh Motivasi Siswa)
Salah satu cara terbaik yang bisa kita lakukan untuk menjaga kepercayaan anak terhadap dirinya adalah dengan memberikan respon dan feedback yang positif.
Biasakan, latihlah, latihlah, dan berusahalah terus untuk menilai anak tanpa ada bahasa penghakiman dan perbandingan. (baca juga: Manajemen Kelas Menciptakan Bulan Pertama Yang Wow Di Kelas)
Ketiga, relatedness. Yakni kemampuan melakukan aktivitas yang dapat membantu mereka merasa terhubung dengan orang lain dan merasa dipedulikan orang lain.
Pada proses ini, kulaitas hubungan antara guru dan murid sangat penting. Terlebih lagi hubungan antara orangtua dan anak. Perasaan terhubung, dipedulikan, dan diperhatikan harus didapatkan anak.
Keempat, relevance. Yakni kemampuan menyadari betapa penting dan bernilainya sesuatu bagi mereka dan manfaatnya bagi kehidupan mereka.
Level ini, anak sudah mampu memunculkan AMBAK (Apa Manfaatnya Bagiku) pada saat melakukan sesuatu atau belajar tentang sesuatu. Pada saat belajar di sekolah tentang materi baru, mula-mula guru menunjukkan manfaat dan guna materi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Secara perlahan, maka anak terbiasa menghubungkan materi yang dipelajarinya dengan kehidupan mereka sehari-hari di luar kelas.
Ingat, yang sangat mungkin kita lakukan, baik sebagai guru maupun orangtua, adalah menciptakan kondisi agar motivasi belajar mudah tumbuh dalam diri setiap anak.
Author: Ali Fauzi
Orangtua, Guru, Penulis, Pembaca, dan Pembelajar.