
Oleh: Ali Fauzi
PR (Pekerjaan Rumah) bagi siswa sekolah merupakan tema sederhana dengan banyak argumen. Dari sekian banyak pemikiran dan ulasan yang mendalam, kesimpulan besar bukan terletak pada apakah PR itu “baik” atau “tidak baik”, melainkan pada apakah PR itu efektif atau tidak dalam mendukung proses belajar.
Pemerintah Kabupaten Purwakarta mengambil langkah yang cukup berani ketika mengeluarkan larangan PR akademis. Sebagai gantinya guru memberikan tugas praktik yang bersifat kreatif dan produktif.
Mari kita telaah kenapa penulis mengatakan sebuah langkah yang berani?
Negara-negara yang pelajarnya mencapai peringkat puncak pada tes internasional, seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Cina, tidak meniadakan PR. Malahan, negara-negara tersebut memberikan PR yang tidak sedikit. Ada juga negara-negara yang nilainya sama tinggi seperti Denmark, Cekoslovakia (Republik Ceska), juga tidak menghilangakan PR namun mengurangi secara signifikan jumlah PR.
Ada juga negara-negara lain yang memberikan PR dengan jumlah yang cukup banyak, namun hasil tes internasional masih buruk. Sebagaimana dalam catatan Salman Khan sebagaipendiri Khan Academy, Perancis, yang hasil tes internasionalnya serupa dengan Amerika Serikat, dilaporkan mengirimkan anak-anak sekolah dasar dan sekolah menengah pertamanya dengan PR yang dua kali lipat jumlahnya dibanding AS.
Ini hanya gambaran. PR memang bukan penentu maju tidaknya sebuah pendidikan. Sekali lagi, ini gambaran bahwa perbincangan seputar PR sebenarnya bukan masalah “baik” atau “tidak baik”, atau barangkali “ada” atau “tidak ada”. Jika melihat data-data di atas, maka persoalan sebenarnya lebih kepada jumlah PR. Atau lebih dalam lagi, mengapa PR harus kita berikan?
Dalam sudut pandang yang berbeda, kebijakan pemerintah daerah Purwakarta bisa kita lihat sebagai sebuah kritik. Ya, kritik atas kualitas pendidikan negeri ini. Kritik atas kebijakan di bidang pendidikan yang terus berubah. Kritik atas kondisi zaman yang terus bergerak. Dan seterusnya.
Ada pihak-pihak—baik guru, murid, masyarakat, dan orangtua—yang setuju dengan adanya PR. Ada juga pihak yang menolak adanya PR. Bahkan, tidak sedikit yang menyetujui dengan adanya pengurangan kuantitas PR tanpa menghilangkannya sama sekali.
Dari sudut pandang peserta didik atau anak, maka mereka adalah pembelajar. Mereka harus belajar setiap saat bahkan ketika di rumah dan lingkungan tempat tinggal. Setiap anak membutuhkan latihan dan pengulangan dalam belajar. Beberapa orang akan mengatakan bahwa PR akan melatih tanggung jawab, kemandirian, dan manajemen waktu pada saat tidak berada di sekolah.
Namun pada sisi lain dan kondisi-kondisi tertentu, PR juga bisa menimbulkan tekanan pada diri anak. Jika yang muncul adalah tekanan, maka belajar tidak lagi menjadi sebuah tantangan yang menyenangkan. Salah satu alasan paling sering adalah karena mayoritas PR yang diberikan adalah persoalan kognitif semata. Nilai akademis semata.
Dari sudut pandang guru. Setiap pendidik atau guru selalu menginginkan peserta didiknya mengalami ketuntasan dalam belajar. Ketuntasan ini tidak tercukupi oleh waktu yang disediakan jam belajar di sekolah. Maka, guru merasa butuh memberikan PR dan melibatkan orangtua dalam pendidikan anak.
Padahal, bisa jadi penyebabnya adalah metode belajar yang kurang variatif. Misalnya, metode ceramah dengan satu kecepatan untuk semua mata pelajaran. Maka, sungguh tidak efektif. Bisa juga karena minimnya sarana belajar, pelatihan guru yang minim, dan kurangnya infrastruktur-infrastruktur pendidikan yang lainnya.
Dari sudut pandang orangtua. Semua orangtua mendukung program sekolah dalam menyukseskan pendidikan anak-anak mereka. Maka, setiap orangtua berusaha terlibat dalam pendidikan anaknya. Hanya saja, kondisi orangtua dan keluarga yang berbeda-beda membuat mereka juga berbeda pandangan.
Dengan kondisi ini, maka ada orangtua yang merasa tidak keberatan dengan adanya PR. Dari pada anak menghabiskan waktunya untuk menonton TV atau bermain gadget, maka lebih baik mengerjakan PR dari sekolah.
Tidak sedikit juga orangtua yang berpandangan bahwa ketika pulang sekolah adalah waktu untuk anak bersama keluarga atau lingkungannya. Biarkan anak menghabiskan waktu untuk bermain, mengasah pengembangan bakat dan minat, serta untuk keluarga tercintanya.
Inilah pilihan-pilihan sulit yang harus kita terima.
Sebuah riset komprehensif tentang PR pernah dilakukan oleh Harris Cooper, Profesor Psikologi di Duke University pada tahun 2006. Dia menemukan bukti bahwa ada hubungan positif antara PR dan prestasi siswa. Dimana siswa yang mengerjakan PR memiliki prestasi di sekolah yang lebih baik. Namun, risetnya hanya berfokus pada prestasi akademik saja, misalnya nilai ujian atau nilai tes. Dalam penelitiannya, Cooper juga menunjukkan bahwa PR meningkatkan karakter dan sikap belajar yang baik, disiplin diri, dan kemandirian belajar. Namun di sisi lain, Cooper juga mendapatkan kenyataan bahwa PR sangat melelahkan anak.
Tidak semua pakar pendidikan menyetujui riset cooper tersebut.
Cathy Vatterott, Profesor Pendidikan pada University of Missouri-St.Louis, misalnya menyatakan bahwa adanya hubungan tidak berarti adanya sebab akibat. Vatterott yang juga penulis dari Rethinking Homework: Best Practice That Support Diverse Needs, menekankan kualitas PR ketimbang kuantitas. Dia juga mendorong menghilangkan PR di sekolah dasar.
Ketika Menteri Pendidikan Bpk. Muhadjir Effendy merespon baik kebijakan pemerintah daerah Purwakarta dan kemudian mewacanakan akan menjadikannya sebagai kebijakan nasional, maka inilah risiko yang akan kita terima.
1. Proses belajar harus tuntas di sekolah
Ini tidak mudah. Namun bisa dicapai. Tuntas berarti setiap anak mampu belajar dengan bergairah dengan tetap memerhatikan kemampuan yang harus dikuasai sesuai dengan jenjangnya. Ada kemampuan dasar, kemampuan yang bersifat keterampilan, dan kemampuan yang bersifat keahlian atau pengayaan.
Bagi sekolah yang fasilitasnya memadai, pelatihan gurunya berkelanjutan, dan dukungan orangtua muridnya sangat baik, dukungan finansialnya cukup, maka tidak sulit mencapai ketuntasan belajar di sekolah. Akan tetapi, berapa persen sekolah yang bisa melakukannya?
Apakah model fullday school atau Sekolah Sehari Penuh yang kemudian diubah nama menjadi P3K atau Program Penguatan Pendidikan Karakter adalah solusi terbaiknya? Silakan mendiskusikannya!.
2. Guru harus siap berubah agar metode mengajarnya tidak satu untuk semua
Kondisi setiap daerah berbeda. Bahkan, yang satu daerah pun bisa sangat berbeda antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya. Berbeda baik dari segi kualitas, jumlah jam mengajar, hingga perbedaan pendapatan.
Melatih guru secara merata dan berkesinambungan adalah hal pokok yang harus dilakukan agar guru menguatkan tekadnya untuk berubah.
3. Pemerataan infrastruktur pendidikan harus terpenuhi
Ini harus.
Terimakasih.
Author: Ali Fauzi
Orangtua, Guru, Penulis, Pembaca, dan Pembelajar.