Sekolah Bukanlah Bengkel; Yuk, Perbaiki Mindset Kita!

Share
SEKOLAH RAMAH ANAK || mediaindonesia.com

Oleh: Ali Fauzi

Seorang tetangga bercerita bahwa tujuan dirinya mengirimkan anaknya ke sekolah atau madrasah tertentu adalah agar kenakalan anaknya bisa hilang. Ini adalah alasan yang sangat mudah dipahami.

Tujuan tersebut memang wajar dan banyak dibutuhkan. Akan tetapi, tujuan ini jika diyakini oleh semua pihak sebagai kebutuhan, maka berakibat sangat tidak baik. Jika orangtua berkeyakinan seperti itu, maka sama halnya dengan berkeyakinan bahwa anaknya selama ini bermasalah dan harus diobati. Padahal, dalam masa belajar, kesalahan memilih sikap merupakan proses menuju kematangan.

Lebih mengkhawatirkan lagi jika keyakinan terhadap tujuan seperti di atas dimiliki oleh seorang guru.  

Jika seorang guru berkeyakinan bahwa tugasnya adalah menyampaikan materi dan memperbaiki sikap anak saja, maka guru cenderung berpikir “mengobati”. Jika ada anak yang susah konsentrasi, maka guru akan menyimpulkan bahwa anak tersebut kebanyakan main, kurang perhatian dari orangtuanya, dan tidak memiliki tanggung jawab.

Jika ada anak yang suka membully temannya, maka kejadian-kejadian negatif akan dicari dan dihubungkan sebagai penyebab perilakunya tersebut. Bahkan, jika ada seorang anak yang sangat berambisi dan berapi-api, maka guru cenderung mencurigainya. Jangan-jangan orangtuanya sangat menekan anaknya jika gagal dan nilainya jelek.

Jika masih ada keyakinan seperti di atas, maka itulah efek dan hasil dari doktrin psikologi abad ke-20. Ya, itulah “psikologi negatif” yang salah satu kesibukan besarnya adalah menangani penyakit mental. Kelemahan manusia menjadi titik fokus utama.

Dengan demikian, dalam pandangan psikologi abad ke-20, daya saing Bill Gates sesungguhnya berasal dari keinginannya untuk melebih ayahnya dan upaya Putri Diana menentang penggunaan ranjau darat semata-mata merupakan hasil sublimasi (penghalusan) dari kebenciannya yang mendalam terhadap pangeran Charles dan keluarga kerajaan lainnya.

Alih-alih berpikir bahwa daya saing Bill Gates dan tujuan Putri Diana adalah berasal dari ketulusan hatinya untuk melakukan kebajikan dan meraih kebahagiaan yang lebih besar yakni berbagi dengan sesama, psikologi negatif memandangnya secara sinis.

Yuk, kita berubah. Keyakinan kita berkata bahwa setiap manusia dilahirkan dalam kondisi suci. Dan memang arah psikologi sudah berubah. Ya, sejak Martin E.P. Seligman meneguhkan “psikologi positif”. Menurutnya, tidak ada secuil pun bukti bahwa kekuatan dan kebajikan berasal dari motivasi negatif.

Ingat, tugas guru bukan melulu memperbaiki kekurangan siswa, akan tetapi lebih kepada menumbuhkan harapan, membangun kekuatan emosi positif, mengembangkan bakat, dan menumbuhkan cinta. Itulah psikologi positif. Tidak seperti emosi negatif yang mempersempit kemampuan menghadapi ancaman, emosi positif justru menyokong pertumbuhan.

Kita harus yakin bahwa emosi positif sangat berlimpah pada anak-anak karena ini adalah masa penting untuk memperluas dan membangun kemampuan kognitif, sosial, dan fisik.

Mulai saat ini, jika ada anak didik yang susah konsentrasi saat belajar di kelas, jangan terburu-buru menyalahkan keluarganya apalagi menyalahkan anak tersebut. Mulailah berpikir, apakah saya dan sikap saya menimbulkan rasa takut bagi anak. Apakah caraku sudah menarik perhatiannya? Apakah aku sudah menghargai diri dan usahanya? Dan seterusnya.

Sekolah juga harus memiliki mindset yang sama. Sekolah yang hanya berpikir tentang hasil tes atau ujian serta target materi ajar semata, maka kemungkinan besar terjebak pada model psikologi negatif. Remedial diperbanyak, penambahan jam untuk pendalaman materi ditambah terus, dan mengukur kesuksesan anak berdasarkan nilai tes semata.

Tidak ada yang salah dengan tujuan itu. Boleh dan sah-sah saja. Akan tetapi, mari bergerak melengkapinya dengan sesuatu yang lebih baik yang lebih dibutuhkan dengan kondisi saat ini. Mari bergerak lebih untuk menumbuhkan kekuatan, mengembangkan bakat, menghargai keunikan setiap anak, dan memperkuat nilai-nilai kebaikan.

Sungguh, sekolah bukanlah tempat “rehabilitasi”. Sekolah bukanlah bengkel semata, tapi juga tempat merakit dan mengembangkan suku cadang. Sekolah sudah seharusnya menjadi tempat setiap anak untuk mengembangkan kemampuan unik dirinya, mengembangkan kebaikan, dan menciptakan keindahan hidup bersama orang-orang di sekitarnya.

 

Salam www.sejutaguru.com

Author: Ali Fauzi

Orangtua, Guru, Penulis, Pembaca, dan Pembelajar.

Artikel terkait

2 Comments

  1. Kerrreeenn…saya sampai merenung dng kalimat ini “Padahal, dalam masa belajar, kesalahan memilih sikap merupakan proses menuju kematangan”.Sekali lagi trimakasih sdh berbagi#pencerahan

Leave a Reply

Your email address will not be published.