
Oleh: Ali Fauzi
Jika ada murid yang tidak santun dalam bertutur kata, bisa jadi bukan muridnya yang salah. Bisa jadi gurunya yang kurang pintar dalam memilih kata-kata ketika membenci seseorang dan ketika kesal dan marah. Gurunya yang kurang kaya akan diksi ketika bermedia sosial. Gurunya yang kurang menghargai kesantunan. Gurunya yang kurang sabar dalam mengingatkan dan menegur ketika bibit-bibit ketidaksantunan muncul. Bisa jadi, gurunya yang kurang mengajarkan tanggung jawab dan risiko atas apa yang kita tulis dan ucapkan.
Bisa jadi, gurunya lupa mengajarkan bahwa akhlak harus diletakkan di atas ilmu.
Jika ada murid yang tidak gigih dalam memperjuangkan sesuatu, bisa jadi bukan muridnya yang salah. Bisa jadi gurunya yang kurang menunjukkan kegigihan dalam mendidik. Jangan-jangan, gurunya yang justru mengajarkan jalan pintas dengan cara mengizinkan mencontek saat ujian. Bisa jadi, gurunya sering memudahkan nilai tanpa usaha. Bisa jadi, gurunya kurang rajin hadir di kelas dan menutupinya dengan kemudahan nilai bagus. Bisa jadi gurunya kurang irit dalam memberikan bantuan. Belum apa-apa sudah dibantu.
Jika ada murid yang tidak bisa bersikap sopan terhadap orang lain, bisa jadi bukan muridnya yang salah. Bisa jadi, gurunya yang kurang bisa menunjukkan teladan kesopanan. Gurunya kurang adil dalam bersikap. Gurunya kurang peduli dan acuh terhadap hal-hal kecil tentang ketidak sopanan. Gurunya yang kurang sabar dalam merespon segala sesuatu sehingga terlihat emosional oleh muridnya. Bisa jadi, gurunya yang kurang sering memberikan nasihat dan pesan kebaikan. Dan orangtua adalah guru anak-anak di rumah.
Jika ada murid yang tidak bisa berprestasi, bisa jadi bukan muridnya yang salah. Bisa jadi gurunya yang kurang memberikan kesempatan untuk mencoba. Bisa jadi gurunya yang kurang jeli dalam melihat kelebihan muridnya. Bisa jadi gurunya yang kurang variasi dalam mengajar dan mendidik sehingga muridnya berpikiran sama. Bisa jadi gurunya yang kurang memberi kebebasan bertanya kepada muridnya. Bisa jadi gurunya yang kurang dalam memberikan motivasi. Bisa jadi gurunya yang kurang percaya terhadap muridnya.
Berbicara tentang prestasi murid, ingatlah Nancy Matthews Edison, ibu Thomas Alva Edison. Ketika orang lain, bahkan guru di sekolahnya, menganggapnya anak yang aneh dan susah belajar, ibunya tetap gigih memotivasi dan membantu anaknya belajar apa yang dia sukai. Dan, siapa yang tidak mengenal Thomas Alva Edison.
Jika ada murid yang tidak bisa belajar dengan cepat, bisa jadi bukan muridnya yang salah. Bisa jadi gurunya yang kurang menarik dalam mengajar. Gurunya masih menggunakan cara belajar puluhan tahun lalu untuk kondisi saat ini. Bisa jadi gurunya yang kurang memikirkan muridnya dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Gurunya yang kurang menghargai usaha muridnya. Gurunya kurang mengerti cara belajar murid. Bisa jadi gurunya yang kurang mengupdate diri. Bisa jadi gurunya yang kurang sabar.
Untuk urusan sabar dalam belajar, ingatlah kisah Ibnu Hajar Al-Asqolani. Di masa belajarnya, dia anak yang sangat rajin namun mengalami kesulitan dalam belajar. Perubahan terjadi ketika dia melihat batu besar yang berlubang oleh tetesan air. Batu yang sekeras itu saja bisa berlubang hanya oleh tetesan air, maka otak manusia jika terus diasah akan menjadi lunak. Semangatnya menjadi berlipat dan akhirnya membuahkan keberhasilan.
Kesabaran dalam mengajar, ingatlah perjuangan Anne Sullivan, guru Helen Keller. Carilah videonya jika belum pernah membaca kisahnya.
Ingat juga kisah ini.
Suatu ketika, Imam Asy Syafii mengajar Ar Rabi bin Sulaiman r.a. Santri yang susah dalam memahami sesuatu. Sampai-sampai Imam Syafii pernah harus mengulangi satu masalah sampai 40 kali, itupun masih belum juga paham, lalu dia pun meninggalkan majlis itu karena merasa malu. Kemudian Sang Guru memanggilnya dan mem-privat beliau pelajaran tadi hingga paham. Imam Asy Syafi’i berkata :
“Hai Robi’, seandainya aku bisa memberimu ilmu semudah menyuapkan makanan, niscaya sudah aku lakukan.”
Apapun masalah yang terkait dengan murid dan anak-anak kita, bisa jadi gurunya yang kurang sabar dan gigih dalam mendidik mereka.
Satu hal lagi yang tidak boleh kurang, yaitu doa. Wahai orangtua dan guru, jangan pernah kurang dalam mendoakan anak-anak kita.
Gantilah kata “Guru” dengan “orangtua”, dan mari introspeksi diri…
Author: Ali Fauzi
Orangtua, Guru, Penulis, Pembaca, dan Pembelajar.
2 Comments
terima kasih buat sharingnya ya
terima kasih pahlawanku tanpa tanda jasa