
Oleh: Ali Fauzi
9 oktober 2012. Seorang gadis duduk di bus bersama teman-temannya saat pulang sekolah. Mereka membicarakan tugas sekolah. Bus berhenti dan seorang tentara bertopeng dengan bersenjata laras panjang menaiki bus.
“Mana Malala? Katakan, atau kutembak semua orang di sini”, teriak tentara tersebut.
Malala membuat pilihan berani. Dia berdiri menunjukkan dirinya, lalu pria tersebut menembakkan pelurunya tiga kali. Peluru itu ditembakkan tepat di kepala Malala di hadapan semua penumpang lainnya.
Setelah berbulan-bulan koma, Malala masih hidup hingga hari ini. Pada usia 17 tahun, Malala mendapat penghargaan dunia tertinggi di bidang perdamaian, yaitu nobel perdamaian.
Malala bersuara lantang melawan larangan untuk bersekolah bagi anak perempuan di negaranya. Peluru di kepalanya justru membuat suaranya menjadi lebih nyaring dan didengar banyak orang di seluruh dunia.
“Penghargaan ini tidak hanya untuk saya. Ini untuk anak-anak yang terlupakan yang ingin menempuh pendidikan. Ini untuk anak-anak yang ketakutan, yang menginginkan perdamaian,” katanya. “Ini untuk anak-anak yang tidak bisa bersuara, yang menginginkan perubahan,” imbuhnya.
Itulah Malala Yousafzai.
Ada pribadi yang rela mempertaruhkan nyawa demi sebuah pendidikan dan harapan hidup damai. Sayangnya, di belahan dunia yang lain, ‘seolah-olah’ ada juga pribadi yang menggunakan pendidikannya untuk mengacaukan dunia.
Mungkin, saat ini, inilah kalimatnya!
Ada orang yang rela mempertaruhkan kepentingan dirinya demi tegaknya akal sehat. Ada pula yang merelakan akal sehatnya demi tegaknya kepentingan diri.
Author: Ali Fauzi
Orangtua, Guru, Penulis, Pembaca, dan Pembelajar.