
Oleh: Ali Fauzi
Salah satu cara yang paling sering kita jumpai untuk menaikkan kualitas pendidikan adalah dengan menaikkan target sekolah. Dalam skala besar, berarti menaikkan standar pendidikan.
Betul, menaikkan standar dalam pendidikan merupakan cara memulai yang paling mudah. Alat penting dalam mengolah dan menaikkan standar adalah penilaian. Sayangnya, dari beberapa standar dalam pendidikan, standar penilaian sangat mendominasi dan menjadi pemain utama. Pendidikan akhirnya berkembang didominasi oleh metode dan sistem penilaian.
Akibatnya, ketika mengolah dan menaikkan standar atau target sekolah, justru banyak yang masuk dalam perangkap. Ya, perangkap angka.
Ketika target harus selalu naik, sementara apa yang dilakukan guru masih sama dari tahun ke tahun dan enggan mengubahnya, maka muncullah ranjau-ranjau mematikan dalam dunia pendidikan.
Apakah menaikkan target sekolah berarti otomatis menaikkan kualitas pendidikan? Tidak. Terlebih lagi jika tidak memperbaiki proses. Menaikkan target atau standar pendidikan akan melahirkan optimisme jika disertai upaya-upaya yang jelas dan terukur. Jika tidak, hanya akan muncul anggapan bahwa tujuan menaikkan target sekolah adalah agar ada kesan perbaikan dan peningkatan kualitas sekolah.
Uniknya, seringkali target tinggi dijadikan barang dagangan oleh lembaga pendidikan tertentu agar orangtua murid mau menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut.
Contoh target kuantitas. Ketika rata-rata hasil ujian sekolah tahun ini ditargetkan harus melebihi tahun kemarin, maka standar sudah naik. Setiap guru harus yakin bahwa untuk mencapai target yang berbeda harus dilakukan dengan cara yang berbeda pula. Jika perubahan pada proses tidak dilakukan, maka akan memaksa kita menempuh dan mencari jalan pintas. Inilah jebakan yang membuat kita gagal memperbaiki kualitas pendidikan.
Jalan pintas dalam kasus di atas bisa berupa bocoran soal, contekan, manipulasi nilai, sampai pada proses-proses yang tidak mencerdaskan.
Kita lihat tentang target nilai harian anak. Sekolah terkadang meminta menaikkan nilai standar minimal, sementara persiapan dan proses untuk mencapainya tidak ada yang berubah. Upgrading guru tidak ada, pembinaan guru juga nihil, KKG tidak produktif, dll. Kondisi ini membuat tekanan semakin naik dan akhirnya masuk perangkap. Soal dipermudah, nilai di-“ulik”, pendalaman materi diperbanyak, dan lain sebagainya. Inilah perangkap yang justru memperburuk kualitas pendidikan.
Kita lihat jebakan di tempat lain, yakni program kegiatan sekolah. Kepala sekolah baru, misalnya, menanamkan kepada dirinya bahwa harus ada program baru di sekolah. Kegiatan yang mulanya hanya ada dua, kini bertambah menjadi empat. Target kuantitas sudah tercapai. Akan tetapi, penambahan program sekolah tanpa menghitung efektivitas pencapaian sebelumnya, hanya akan menghasilkan rutinitas yang melelahkan dan tidak produktif.
Yang penting baru, yang penting bertambah, yang penting berbeda. Pertumbuhan pohon yang kuat adalah yang akarnya menghunjam dalam ke tanah dan cabang-cabangnya menjulang tinggi ke atas. Jika hanya menambah dan menaikkan target saja tanpa evaluasi pencapaian sebelumnya dan tanpa memperbaiki proses, berarti membiarkan pohon menjulang tinggi tanpa memiliki akar yang kuat. Pohon itu akan mudah tumbang oleh terpaan angin.
Tips minimal.
Mulailah dengan menetapkan standar yang ingin dicapai beserta output yang diinginkan.
Tentukan cara mencapainya dan semua bentuk kegiatannya.
Buatlah assessment yang tepat. Setiap standar selalu memiliki assessment yang berbeda.
Evaluasi secara berkala. Paling tidak satu minggu satu kali.
Lakukan perbaikan, dan seterusnya.
Author: Ali Fauzi
Orangtua, Guru, Penulis, Pembaca, dan Pembelajar.
1 Comment
Excellent site you have here but I was wondering if you knew of any user discussion forums that cover the same topics discussed in this article? I’d really love to be a part of community where I can get opinions from other experienced individuals that share the same interest. If you have any suggestions, please let me know. Thanks a lot!