
Oleh: Ali Fauzi
“Gaya belajar itu mitos, kawan.”
Dua orang guru sedang ngobrol ringan tentang multiple intelligence. Keduanya meyakini, mungkin juga anda, bahwa jika kita tidak pernah membahas tentang metode belajar dan mengajar dengan rekan kita, maka hampir pasti, cara mengajar kita stagnan. Kecuali anda membaca buku dan mempraktikkannya.
Seorang guru menawarkan kopi hitam yang dibelinya secara online. “Yuk kita coba kopi ini!”
A: Gaya belajar itu bukan mitos. Ada penelitiannya. Ada otak yang cara kerjanya adalah auditori, ada juga yang visual, juga kinestetik.
B: Betul. Sayangnya, mayoritas guru masih mempercayai hal ini. Termasuk saya pada awalnya dan kamu sampai saat ini. Bahkan, sekolah yang guru-gurunya menyampaikan hal ini kepada siswanya, membuat siswa tersebut percaya dengan gaya belajarnya. Ini lebih berbahaya.
A: Kenapa berbahaya? Faktanya, ada muridku yang langsung paham hanya dengan mendengarkan penjelasanku. Ada yang belajar sambil bermain, bisa lebih cepat paham.
B: Tetap berbahaya. Jika guru melayani gaya belajar siswa, maka dia telah mengembangkan pola pikir yang tetap dan bukan pola pikir yang berkembang. Bahayanya, saat murid percaya dengan gaya belajarnya maka murid tersebut percaya bahwa dirinya hanya bisa belajar dengan gaya belajar tersebut. Akibatnya, anak tidak mau belajar dengan gaya yang lain.
Apa benar, anak yang auditori harus selalu dibacakan saat belajar? Mengerjakan soal juga harus dibacakan? Dan seterusnya. Dia tidak berusaha mencoba kemampuan yang lain. Memangnya, kamu tidak meminta anak belajar memahami teks? Belajar mendengarkan penjelasan guru?
A: Betul juga, ya. Saya baru paham, sekarang. Saya mau tanya, kenapa kamu bilang mitos? Padahal itu hasil penelitian psikologi.
B: Awalnya memang iya. Ada penelitian ilmiahnya. Setelah puluhan tahun, akhirnya bukti dari penelitian tersebut tidak cukup kuat. Sepuluh tahun terakhir, sudah banyak bantahan terhadap teori gaya belajar ini. Para psikolog dari berbagai disiplin, telah mengkaji teori ini. Makanya, psikolog Scott Barry Kaufman, menyebut gaya belajar sebagai “neuromythology”, sebuah ide populer yang bertahan meskipun sedikit bukti yang mendukungnya.
A: Kenapa banyak yang percaya dengan teori gaya belajar ya?
B: Barangkali, karena kayak berita hoax saat ini. Begitu seringnya dibicarakan, seolah-olah berubah menjadi benar. Tapi….
A: Bisa jadi. Saya paling tidak suka kalau ada orang yang tidak melakukan prinsip “saring sebelum sharing”. Dia mencari berita hanya yang mendekati emosinya, bukan mendekati akal sehatnya. Sayangnya, maaf kalau salah, saya lihat di media sosial masih banyak guru yang melakukan hal ini.
B: Kayaknya mereka kurang ngopi dan kurang piknik. Bagaimana mau piknik, gaji buat cicilan aja sudah ngos-ngosan.
A: Santai. Tetap bersyukur aja. Kita kembali ke persoalan.
B: Betul. Salah satu yang membuat banyak orang percaya terhadap gaya belajar adalah karena dekatnya teori tersebut dengan prinsip psikologi, yaitu setiap orang berbeda. Setiap orang memiliki potensi yang unik, bakat yang berbeda, pengalaman dan motivasi hidup yang berbeda. Karena alasan inilah, orang dengan otomatis menyamakan dengan gaya belajar. Padahal, itu dua hal yang berbeda.
A: Saya mulai memahami. Berarti ada kaitannya dengan modalitas belajar ya?
B: Tepat. Guru harus tahu tentang hal ini. Terutama bagi mereka yang separo tahu. Yang tidak mengetahui sama sekali, justru aman. Tapi, tetap harus meng-upgrade diri. Masih ingat, kan dengan kata-kata ini, “Yang berbahaya bukan karena tidak tahu, melainkan yang tahu hanya setengah-setengah”.
Howard Gardner, yang tahun 1980-an mempopulerkan kecerdasan majemuk atau multiple intelligence, tahun 2013 di The Washington Post, menyebut teori gaya belajar sudah “tidak koheren”. Gardner juga mengatakan bahwa tidak ada bukti yang jelas bahwa mengajar dengan gaya belajar siswa menghasilkan hasil yang lebih baik.
A: O, begitu. Terus….
B: Sudahlah, cari info sendiri ya…. yang penting mengajarlah dengan semua modalitas yang ada dengan .
A: Siap. Akan saya cari referensi, dan kita bahas ini lain waktu ya….
B: Oke. Siapa tahu saya yang kurang tepat dalam memahami dialog learning style dalam ranah psikologi ini. Baca tulisan Dr. Robert Bjork, Howard Gardner, Neil Fleming, Daniel Willingham,Ulrich Boser, dan masih banyak yang lain.
A: Banyak banget. Guru kok repot amat ya. Ngomong-ngomong, tahu beginian, penting gak sih buat guru?
B: Kayak minum kopi aja. Kalau muridnya kayak kamu, yang minum kopi hasil buatan istri, dan gak pernah bikin sendiri, maka ilmu ini gak penting. Kamu hanya menikmati. Murid juga hanya menerima. Itu saja.
Tapi, bagi orang yang menikmati kopi sekaligus ingin mampu menyajikan cita rasanya bagi orang lain, maka ilmu meracik kopi itu penting. Setidaknya kita bisa menjelaskan kenapa masih ada orang yang minum kopi manis.
A: Gue dong.
hahahaha
Terimakasih.
2 Comments
Saya pun sejak awal ketika tahuperihal gaya belajar sempat takut, sebab tugas guru jadi semakin complicated saja, dan saat ini yg mungkin sangat saya yakini sebagai dasar pemikiran mengajar saya ya pembelajaran berbasis otak, yg mana dasar pemikiran nya berlawanan dengan pemikiran “gaya belajar” ini
baik. terimakasih. banyak kajian ttg hal ini.