Percayalah, Sekolah Yang “Keras” Lebih Diinginkan

Share
disiplin positif || sumber gambar: suara merdeka

Oleh: Ali Fauzi

Apa Yang anda lakukan, Jika…

Anak anda sudah berangkat sekolah. Satu jam kemudian, anda melihat tugas anakmu masih tergeletak di meja ruang tamu. Anak anda mengatakan bahwa dia harus mengumpulkannya hari ini. Dan, anak anda lupa membawa ke sekolah hari ini.

Mana yang lebih anda pilih: segera mengambilnya dan mengantarkannya ke sekolah, atau membiarkan begitu saja?

Jawaban dari para ilmuwan psikologi adalah lebih baik memilih yang kedua. Yaitu, tidak mengantarkan tugas itu ke sekolah anak anda. Apakah kejam? Sebagian orang akan memandang kejam dengan keputusan ini. Mereka merasa kasihan dengan anaknya yang sudah mengeluarkan tenaga untuk menyelesaikan tugas tersebut. Ini kan, kesalahan sepele. Kita harus tetap menyelamatkannya. Hadiah tambahannya, anak anda akan menganggap anda sebagai pahlawan.

Memang, ini bertentangan dengan kebanyakan naluri dalam mengasuh anak. Namun, kita juga harus mempertimbangkan bahwa membiarkan anak bergelut dan menghadapi konsekuensi-konsekuensi alami dari tindakan mereka, justru akan membantu mereka lebih cepat mengembangkan keterampilan hidup dalam menghadapi masalah.

Faktanya, ada sebuah sekolah swasta yang sudah berani mengambil kebijakan seperti di atas. Yaitu tidak menerima titipan barang atau apapun yang tertinggal. Kebijakan itu diterapkan dengan sangat rapi dan baik. Bukankah salah satu tujuan kita adalah membantu anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan mandiri?.

Jessica Lahey, seorang penulis ternama, menulis bahwa seorang anak lebih baik menerima kegagalan kecil dengan resiko rendah, namun sangat berdampak positif terhadap pertumbuhan emosi dan kognitif tingkat tinggi. Ingat, ketika taruhannya rendah, maka kegagalan kecil akan sangat efektif bagi pembelajaran seorang anak. Intervensi dan penyelamatan yang terburu-buru bisa menyebabkan hilangnya proses belajar.  

Psikolog Elizabeth dan Robert Bjork menyebut kondisi hal ini dengan istilah desirable difficulties, “kesulitan yang diinginkan”. Belajar yang disertai dengan tantangan dan resiko akan lebih efektif dan bertahan lebih lama di memori seseorang daripada pembelajaran yang datang dengan mudah.

Selama sepuluh tahun lebih menjadi seorang guru, aku selalu melihat respon positif dari orangtua murid jika kita menegakkan disiplin tinggi terhadap norma-norma penting dalam hidup. Ini tidak hanya aku dapat dari orangtua murid sekolah tempat aku mengabdi, namun juga dari obrolan dengan tetanggaku. Mereka akan mengatakan, “Alhamdulillah, di sekolah A, anakku diperhatikan. Seragam harus lengkap dan tidak boleh terlambat. Kalau seragam tidak lengkap, ada hukumannya lho. Kalau terlambat, … ,” dan seterusnya.

Mayoritas orangtua murid sangat mengharapkan sekolah yang “keras” dalam menegakkan peraturan dan disiplin. Tentu saja, disiplin yang mendidik dan tidak berlebihan. Uniknya, secara tidak langsung, kondisi sekolah yang “keras” dalam disiplin akan membentuk kondisi orangtua yang menghargai kedisiplinan juga.

Tegakkan disiplin yang “keras” terhadap sesuatu yang prinsip. Disiplin “keras” yang positif dan mendidik. Disiplin yang melahirkan tanggungjawab dan bukannya ketakutan.

Dalam kalimat indah Rumi, “Tuhan mengharubirumu dari satu rasa ke rasa yang lain, dan mengajarimu hal-hal yang berlawanan, agar kau memiliki dua sayap untuk terbang”.         

Author: Ali Fauzi

Orangtua, Guru, Penulis, Pembaca, dan Pembelajar.

Artikel terkait

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.