
Oleh: Ali Fauzi
Asessment bukanlah pertunjukan sulap yang siapapun cukup berlatih berulang-ulang dan menghafal polanya, maka pertunjukan bisa sukses.
Inilah obrolan santai kami tentang AKM.
A: Pak, Ujian Nasional sudah dihapus ya? Katanya diganti AN (Asessmen Nasional). Betul nggak?
B: Yang aku tahu, betul. Tetapi, AN bukan pengganti UN.
A: Lha wong mas menteri mengatakan bahwa Ujian Nasional ditiadakan dan diganti dengan asesmen kompetensi minimal, survey karakter, dan survey lingkungan belajar.
B: Iya betul, tapi aku memahaminya tidak seperti itu.
A: Kok bisa?. Saya sudah ikut seminarnya dua kali. Bahkan, pada saat seminar, kita ditunjukkan contoh-contoh soal dan cara menjawabnya. Sehingga, kita tahu trik dan kisi-kisinya.
B: Sebentar pak. Bagaimana mungkin, AN menjadi pengganti UN? Lha wong pelaksanaannya saja berbeda. Kapan, untuk siapa saja, materinya, dan tujuannya saja berbeda. Maka, menurutku AN bukan pengganti UN.
A: Tapi sekarang sudah ramai dan sibuk lo tentang AN ini. Kita, di sekolah, bahkan membentuk tim pengumpul soal model AKM. Kita juga mengadakan seminar tentang trik-trik lolos AKM, trik-trik menjawab soalnya, dan trik menghafalnya. Yah, mirip dengan tim Ujian Nasional.
B: Asessment, dalam bentuk apapun, bukanlah pertunjukan sulap yang siapapun cukup berlatih berulang-ulang dan menghafal polanya, maka pertunjukan bisa sukses.
A: Malah ngomongin sulap. AN ini merupakan upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan kita. AN menjadi alat ukur pengembangan pendidikan kita. Jadi, kita harus menyiapkan murid untuk menghadapi AN ini. Ya, seperti UN lah. Kalau UN sekolah kita bagus, maka sekolah kita dianggap berhasil. Bukan main sulap.
B: AN bukan untuk meranking sekolah ataupun siswa.
A: Betul. Tapi, kalau hasil AN sekolah kita tidak baik, maka sekolah dianggap gagal. Orangtua murid itu mencari sekolah yang hasil UN nya bagus. Nah, sekarang mereka tentu juga mencari sekolah yang AN-nya bagus.
B: Sebentar pak. Sampeyan terlalu bersemangat. Izinkan aku berbagi sudut pandang yang lain.
A: Lha wong saya sudah ikut seminar dua kali, workshop satu kali. Pembicaranya orang-orang hebat. Ya harus semangat. Bapak belum ikut pelatihan, sih.
B: Lanjut tidak, ngopinya? Kalau lanjut, begini…
A: Silakan.
B: Ketika mas menteri mengatakan bahwa tidak perlu bimbel untuk menghadapi AKM, maka bukan berarti kita harus melanjutkan tugas bimbel di sekolah layaknya menghadapi UN. Bukan.
A: Lo kok begitu?
B: Asesmen (dalam bentuk apapun) itu seni membaca kemungkinan. Banyak negara mengubah cara ngetest murid sekolahnya hanya demi menghadapi perubahan zaman. Ibarat pilot, maka dia harus mampu memperkirakan adanya cuaca buruk, awan tebal, kecepatan angin, dst. Semua kemungkinan itu harus siap kita hadapi. Jadi, ketika pemerintah mau menaikkan standar pendidikan, maka salah satu cara yang ditempuh pemerintah adalah mengubah cara ngetest. Ini bagus, meskipun rawan.
A: Saya setuju dengan hal itu. Makanya kita harus tahu contoh-contoh soalnya, kemudian kita ajarkan trik-trik mengerjakan soal AKM agar anak kita sukses.
B: Mas, Asesmen bukan pertunjukan. Begini, lo.Ketika pemerintah membahas tentang Asesmen Nasional, sebenarnya yang mereka bicarakan bukan asesmennya. Mereka membicarakan model pembelajaran yang harus diubah.
A: Tidak, mereka tidak membahas pembelajaran. Seminar-seminar dan workshop ya tentang persiapan sekolah menghadapi AKM dan bagaimana bisa lulus.
B: Wajar, mas. Puluhan tahun kita menyatu dengan ranking, baik tingkat individu maupun tingkat sekolah. Jika ada yang menafsirkan Asesmen Nasional sebagai dengan sudut pandang sampeyan, maka itulah produk pendidikan kita.
A: Wah, menghina ini.
B: Bukan menghina, ini fakta. Temen-temen saya sendiri, juga banyak yang berpandangan seperti sampeyan. Sekarang begini, apakah mungkin AKM bisa meningkatkan kualitas pendidikan kita?
A: Ya kalau nilai AKM kita bagus, otomatis pendidikan kita bagus.
B: Itu dia. Jika ingin memperbaiki kualitas pendidikan, maka perbaiki kualitas pembelajarannya. Dan kualitas pembelajaran semua prosesnya ada di kelas. Maka, ubah terlebih dahulu proses di kelas. Menurut saya, kita bukan diminta membantu siswa untuk bisa lulus pada AKM, tetapi kita harus mengubah cara mengajar kita. Kalau proses pembelajaran berubah, maka hasil belajar juga berubah.
A: Wah, capek lagi kalau begini.
B: Kalau sambil ngopi pahit, pasti jadi beda. Pokoknya, Setiap asesmen selalu bermuara pada dua hal, kriteria dan akurasi. Apakah kriteria tesnya tepat dan apakah tes tersebut akurat? Bayangkan! Karakter diukur dengan sejumlah pertanyaan. Wow banget, kan…
A: Saya punya teman di Dinas pendidikan. Saya akan diskusikan ini. Jangan-jangan kamu salah. Atau bisa juga, saya yang salah.
Itulah obrolan kami tentang sebagian besar persepsi Asesmen Nasional.