Murid Bahagia Dengan Sekolah Online; Bahagia Yang (Bisa Jadi) Salah

Share
sejutaguru || sumber gambar: Republika

Oleh: Ali Fauzi

“Rebahan saja sudah bisa naik kelas”. 

Saat ini, kelompok manusia (siswa) pendukung bangun siang menemukan momen untuk mengajukan alasan-alasan yang kuat. Mereka meyakini bahwa layar tidak bisa menilai apakah dirinya sudah mandi atau belum. Bahkan, saat layar hanya menunjukkan kepala bagian atas, seseorang di layar lain tidak bisa membedakan antara duduk atau rebahan.

Sementara, bagi kelompok yang gigih bangun subuh, mereka tetap ingin menjaga keseimbangan hidupnya dengan cara itu. Pola ini mereka yakini lebih menyehatkan.

Saya teringat David Hume, filsuf Skotlandia, ketika memisahkan pertanyaan antara “masalah yang ada” dengan “masalah yang seharusnya.” Dalam konteks ini, misalnya, kaum pendukung bangun siang mewakili “masalah yang ada”. Pola bangun pagi adalah “masalah yang seharusnya”.

Bangun pagi dan menggerakkan badan mungkin menyehatkan dan menguntungkan, tapi tidak berarti kita “harus” melakukannya. Di sini, ada dua hal yang sama-sama sah.

Kita kembali ke konteks “sekolah”.   

Kondisi saat ini adalah saat di mana sekolah harus menerima kenyataan untuk memangkas peran pendidikannya. Sekolah tidak lagi bisa meng-“harus”-kan secara etis sikap-sikap moral. Seperti, hadir tepat waktu, berpakaian yang rapi, berperilaku sopan, dan seterusnya. Sekolah hanya bisa mengharuskan layar yang menyala, penyelesaian tugas, dan nilai yang cukup. Sisanya adalah anjuran-anjuran normatif.

Jangan-jangan, banyak murid yang mulai bahagia dengan kondisi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini. Mereka bisa rebahan setiap saat, boleh menciptakan alasan untuk layar tertutup (offcam), bisa sambil nonton youtube atau main game saat belajar, tidak perlu lagi belajar berlelah-lelah karena soal ujian bisa langsung di-googling, dan hasilnya lulus dan naik kelas juga. Asyik, kan.

Mereka mulai menyadari bahwa ada fakta yang mulai mereka yakini, yaitu belajar itu tidak sulit. Sekolah menjadi lebih gampang.

Kalau anda pernah mendengar bahwa belajar harus menyenangkan, jangan-jangan PJJ ini adalah belajar paling menyenangkan bagi sebagian murid. Mudah menjalaninya, mudah lulusnya.

Mengolah cipta, rasa, dan karsa telah masuk ke babak paling sederhana. Namun, capaiannya memasuki kondisi paling sulit kita ukur. Itulah kondisi PJJ, di mana teknologi telah merayu kita semua agar percaya bahwa internet sudah mencukupi kebutuhan pendidikan kita.

Akhirnya, murid-murid kita, barangkali kita semua juga, seperti mengarah pada ketidaktertarikan pada MAKNA PENDIDIKAN, melainkan lebih tertarik pada MENJALANI PENDIDIKAN. Kamu tentu tahu bedanya. Kalau menjalani pendidikan berarti tujuan akhirnya adalah naik kelas dan lulus serta mendapat gelar. Sedangkan MAKNA PENDIDIKAN lebih berliku-liku dari itu.

Jika minta pendapat Aristoteles yang meyakini bahwa tujuan hidup adalah meraih kebahagiaan, maka mungkin sudah tercapai. Namun, seharusnya kita harus melanjutkan pada tiga bentuk kebahagiaan menurut Aristoteles. Pertama, hidup senang dan nikmat. Kedua, bahagia dengan menjadi warga negara yang bebas dan bertanggung jawab. Ketiga, bahagia dengan menjadi ahli pikir dan filsuf.

“Siapa Bang Aris itu?”, tanya temanku.

“Orang bijak jaman dulu yang hidup sebelum masehi”, jawabku.

“Andai dia hidup sekarang dan nonton tiktok, pasti senang berjoget. Kriteria kebahagiaan, bisa saja dia revisi dengan penuh pesona”.

Sak karepmu, kang.

HATI-HATI DAN WASPADA JIKA KONDISI INI MULAI MENJANGKITI MURID-MURID KITA.

Author: Ali Fauzi

Orangtua, Guru, Penulis, Pembaca, dan Pembelajar.

Artikel terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.