Kebijakan Pendidikan Yang “Tidak Jujur”

Share
kebijakan pendidikan sumber gambar: detik.com

Oleh: Ali Fauzi

Jika anda pernah flu atau pilek, anda pasti tahu tulisan di bungkus obat. “Menghilangkan flu. Bla bla bla dan Mengakibatkan mengantuk”. Hampir setiap obat, kini menuliskan efek samping sebagai peringatan.

Apakah kita juga mengharap hal tersebut terjadi pada dunia pendidikan? Jangan-jangan, kita tidak akan pernah mendapatkannya.

Continue Reading

Belajar Sejarah Dengan “Dikte”. Bukan Dikte Biasa, Dan Sangat Efektif

Share
sumber gambar: okezone.com

Oleh: Ali Fauzi

“Aku mencoba cara baru dalam mengajar sejarah, yaitu dikte. Caranya…”

Aku mengajar di tingkat Sekolah Dasar. Pelajaran sejarah yang disisipkan dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, seringkali bukanlah pelajaran favorit. Terlebih lagi, materi tersebut menjadi identik dengan hafalan seputar tahun dan nama seseorang.

Continue Reading

Perbaikilah Cara Membacamu! Termasuk Di Media Sosial

Share
sumber gambar: 4.bp.blogspot.com

Oleh: Ali Fauzi

Terkadang, cara membaca seorang anak lebih memiliki keunggulan dari cara membaca orang dewasa. Bagaimana tidak, orang dewasa seringkali mendekati sebuah teks dengan mengharapkan kebenaran tertentu. Jika isi teks tidak sesuai dengan harapan awal, bukannya mengolah dengan mode deep thinking, ia tak segan-segan menghardik penulis.

Ishak Bashevis Singer, pemenang nobel sastra, menulis dalam berbagai genre termasuk genre anak-anak. Dalam esainya yang berjudul “Alasan Saya Menulis Untuk Anak-anak”, dia memberikan titik tekan dan seruan yang penting.

Menurutnya, “Anak-anak membaca buku, bukan ulasan”.

Mari, kita cek apa yang kita lakukan! Mulai dari membaca buku, datang ke bioskop, memilih tempat makan, sampai memilih calon pasangan hidup. Masih adakah dari deretan tersebut yang kita lakukan hanya karena ulasan dan pendapat orang?

Di ruang-ruang kelas, seringkali kita menilai anak didik kita berdasarkan pendapat guru lain.

Memang tidak salah. Ulasan dan pendapat orang lain bisa menambah sudut pandang jika kita meletakkannya di laci yang tepat di otak kita. Namun, jika ulasan orang lain menjadi satu-satunya kaca mata, maka kemana akal pikiran bebas kita? Bukankah Allah bersabda,” jangan kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”.   

Steven D. Levitt & Stephen J. Dubner menulis dalam salah satu buku mereka bahwa akan sangat baik jika kita menyelundupkan sedikit naluri kekanak-kanakan kita. Dengan demikian, kita bisa menanggalkan sedikit sifat orang dewasa yang paling merusak, yaitu kepura-puraan.

Terimakasih.

Continue Reading

Sekolah; Bukan Tentang Program, Tetapi Tentang Manusia

Share
guru sekolah || sejutaguru.com

Oleh: Ali Fauzi

Studi banding ke sekolah lain seringkali tidak menghasilkan perubahan yang signifikan. Para guru atau pemimpin sekolah seringkali lebih mencari program baru ketimbang mencari solusi.

Lihatlah Gojek, Grab, Traveloka, Blibli, Instagram, Facebook, OVO, dan aplikasi lainnya! Mereka hadir bukan untuk menjual aplikasi. Mereka, sesungguhnya, juga tidak menjual barang. Mereka hadir dan bertarung untuk memberikan solusi. Jika bukan solusi yang membantu banyak orang dalam kehidupan sehari-hari, maka platform tersebut tidak akan mampu bertahan.   

Continue Reading

“Hard Work” dan “Fun”. Mana Yang Lebih Dulu Dalam Belajar?

Share
belajar cerdas || sumber gambar : internet

Oleh: Ali Fauzi

“Mana yang lebih dulu dalam proses belajar, hard work atau fun?”, tanyaku kepada beberapa rekan guru. Pertanyaan semacam ini seringkali mendapat respon unik. Ketika hardwork dan fun menjadi pilihan, maka jawabannya adalah hard work yang fun. Rekanku memberikan alasan, “saat kita di ranjang dengan istri, kita pasti menerapkan hard work yang fun.”

Saat ini, pembelajaran yang menyenangkan telah menjadi unsur pokok dalam proses belajar. Para ahli otak menyebut bahwa proses seperti itulah yang sangat efektif sesuai dengan cara kerja otak manusia.

Ketika yang tertangkap oleh guru adalah rasa senang saja, maka muncul pemahaman yang tidak lengkap. Seolah-olah, belajar yang menyenangkan adalah tidak ada PR, tidak ada tugas, tidak banyak hapalan, tidak boleh memaksa anak untuk belajar, soal dipermudah, dan harus santai.

Continue Reading

Jebakan Teknologi Dalam Pendidikan. Waspadalah!

Share
jebakan teknologi dalam pendidikan || sumber gambar: nytimes.com

Oleh: Ali Fauzi

Tahun 2011, New York Times menulis berita “In Classroom of Future, Stagnant Scores”. Tulisan tersebut membahas sebuah sekolah yang sejak tahun 2005 telah menginvestasikan sekitar 33 juta dolar dalam teknologi. 

Sayangnya, justru tidak berbuah baik.

Memang, hasilnya adalah ruang kelas berubah drastis. Setiap siswa menggunakan laptop dan tablet saat beajar, papan tulisnya digital dan dapat dikendalikan melalui komputer, ruang kelas pun hadir dengan kelengkapan digital yang membuatnya menjadi kelas dinamis abad 21. Bahkan, beberapa tugas dan informasi sekolah, mereka integrasikan ke sosial media.

Sayangnya, saat ujian sekolah, hampir seluruh wilayah lain mengalami peningkatan nilai ujian, sekolah tersebut dengan segala inovasinya, mengalami perolehan nilai yang stagnan dan tidak berkembang. Hal itu terjadi dalam beberapa tahun.

Continue Reading